(Dedik F. Anwar)
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ
لأولِي الألْبَابِ (١٩٠) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ (١٩١)
( Q. S.
Al ‘Imron : 190 – 191 )
****
Akhir-akhir ini pendidikan
karakter menjadi tema perbincangan menarik dikalangan praktisi pendidikan.
Kondisi budaya masyarakat Indonesia yang semakin menggila memunculkan gagasan
baru bahwa perlu adanya pendidikan karakter sejak usia dini. Wakil mendiknas,
Fasli Jalal pernah mengungkapkan bahwa “ Kalau dilihat sampai saat ini,
karakter harus menjadi nahkoda dalam pendidikan, hal ini dikarenakan pendidikan
karakter dapat membentuk hati, pikiran, dan perilaku yang baik”.
Apa yang dikemukakan Fasli Jalal
memang tidak berlebihan. Tidak bisa dipungkiri bahwa fakta kemerosotan moral
kian mengkhawatirkan. Hal ini bisa kita saksikan di media elektronik maupun
media cetak, betapa banyak perilaku-perilaku menyimpang yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat, ada korupsi, pemerkosaan, tawuran antar pelajar, hilangnya
budaya sopan santun, dan lain sebagainya, dikhawatirkan akan menciptakan
generasi bangsa yang tidak berkualitas, baik dari aspek intelektualitas maupun
moralitas.
Lebih mengkhawatirkan lagi bahwa
budaya seperti diatas sudah menjangkiti para remaja. Terlebih dizaman modern
seperti ini, zaman dimana budaya hedonisme dijadikan sebagai ideologi,
materialistik menjadi hal yang diutamakan dan diperjuangkan mati-matian, individualisme
menjadi ‘agama’ baru bagi para remaja, ditambah lagi remaja tidak lagi memiliki
figur yang pantas untuk dijadikan idola. Tentu saja hal tersebut semakin
membuat para remaja jadi salah arah dalam pencarian jati dirinya.