PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk unik dan penuh misteri, yang tidak pernah habis menjadi objek
kajian dan penelitian. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan telah mendefinisikan
manusia sesuai dengan sudut pandang keilmuan masing-masing. Ada yang
mendefinisikan sebagai homo sapiens (makhluk yang memiliki akal budi), homo
luquen (makhluk yang mampu menciptakan bahasa), homo faber (makhluk
hidup yang bisa membuat alat perkakas), zoon politikon (makhluk sosial/
bermasyarakat), homo luden (makhluk yang suka main), homo deleqaus
(makhluk yang bisa menyerahkan kerja dan kekuasaannya pada orang lain), dan ada
pula yang mengatakan animal rationale atau hayawan nathiq
(binatang yang berfikir), serta julukan-julukan lainnya.
Hal
ihwal manusia ini ternyata juga banyak dibahas dalam Al-Qur’an. Ada beberapa
istilah yang muncul dalam Al-Qur’an, yaitu basyar (35 kali dalam bentuk
mufrod dan sekali dalam bentuk mustasna), al-ins (18 kali), al-insan
(65 kali), an-naas (240 kali), bani adam ( 7 kali), dan dzuriyah
adam (1 kali). Ini menujukkakan bahwa manusia memang makhluk yang penuh
misteri. Beberapa penamaan manusia diatas tentunya memiliki makna yang berbeda,
hal ini bisa dilihat dari diletakkannya nama-nama itu dalam konteks ayat yang
berbeda. Penggunaan nama pada konteks ayat yang berbeda itu berarti pula bahwa
manusia memiliki kecenderungan tertentu, kecenderungan taat maupun
kecenderungan sesat.
Namun dalam makalah singkat ini pemakalah tidak
hendak mengupas perbedaan makna tersebut, akan tetapi makalah ini akan membahas
tentang tujuan serta orientasi hidup manusia. Secara umum, makalah ini akan
menjawab pertanyaan tentang; darimana datangnya manusia, untuk apa manusia
diciptakan, dan kemana manusia akan menuju?
PEMBAHASAN
A.
Tipologi Manusia
Secara umum, banyak cabang ilmu yang membahas tentang manusia, ada yang
memandang manusia dari segi fisik (Antropologi Fisik), ada yang memandang
manusia dari segi budaya (Antropologi Budaya), ada yang memandang manusia dari
segi “ada” nya atau dari segi “hakikat” nya (Antropologi Filsafat), dan ada
pula yang memahami hakikat manusia dari sudut pandang agama yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Inilah yang menyebabkan orang-orang tak henti-hentinya
berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan mendasar manusia,
yaitu Apa, dari mana, dan kemana manusia itu?
Mengkaji tentang manusia, kita akan menemukan ‘tipologi manusia’ yang
secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 4 hal:
1)
Manusia dalam
pandangan antropologi fisik dan budaya
Para ahli memberikan sebutan kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan manusia di
bumi ini;
a. Manusia adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang
mempunyai budi,
b. Manusia adalah Animal Rational, artinya binatang yang
berpikir,
c. Manusia adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai
menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata
yang tersusun,
d. Manusia adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia
pandai membuat perkakas atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai
membuat alat,
e. Manusia adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai
bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya,
f. Manusia adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang
tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
2)
Manusia dilihat
dari segi antropologi filsafat (sudut pandang jasmani dan rohani)
Setidaknya ada 4 aliran jika kita mengkaji
manusia dari sudut pandang filsafat (aspek jasmani dan rohani), yaitu :
a.
Aliran serba
zat; aliran ini mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah
zat atau materi. Zat atau materi itulah hakikat dari segala sesuatu. Alam ini
adalah zat, dan manusia adalah unsur dari alam. Oleh karenanya, hakikat dari
manusia itu adalah zat atau materi, maka keperluan-keperluannya juga bersifat
materi, ia mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya juga dari materi.
Maka terbentuklah suatu sikap pandangan yang materialistis.[1]
b.
Aliran serba
ruh; aliran ini berpendapat bahwa hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah
“ruh”, termasuk juga manusia. Adapun zat merupakan manifestasi dari ruh di atas
dunia ini. Materi hanyalah penjelmaan ruh.[2]
Pendapat ini sejalan dengan pendapatnya Al Ghazali yang menyatakan bahwa
manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu al-nafs
(substansi yang berdiri sendiri dan tidak bertempat). Al-nafs merupakan
tempat pengetahuan-pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) berasal dari alam
al-malakut.[3]
Ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan pada fisiknya, sebab fisik adalah
sesuatu yang mempunyai tempat. Sehingga dasar pikiran dari aliran ini adalah
bahwa ruh itu lebih berharga dan lebih tinggi nilainya dibandingkan materi.
c.
Aliran dualisme
(gabungan antara ruh dan zat); aliran ini mencoba untuk mengawinkan dua
pendapat di atas. Aliran ini berpendapat bahwa manusia itu pada hakikatnya
terdiri dari dua substansi yaitu jasmani dan rohani, badan dan ruh. Kedua
substansi ini merupakan unsur asal yang adanya tidak tergantung satu sama
lain. Jadi badan tidak berasal dari ruh, dan ruh juga tidak berasal dari
badan. Namun dalam perwujudannya, manusia itu serba dua, jasad dan ruh, yang
keduanya berintegrasi membentuk yang disebut manusia.[4]
d.
Aliran
eksistesialisme; sedangkan aliran ini berpendapat bahwa inti hakikat manusia
adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Dengan demikian,
aliran ini memandang manusia tidak dari segi ruh maupun jasad, tetapi
memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri, yaitu cara beradanya
manusia itu sendiri di dunia.[5]
3)
Manusia menurut
sudut pandang antropologi dan metafisika
Dari segi antropologi
terdapat tiga sudut pandang hakekat manusia, yaitu manusia sebagai makhluk
individu, makhluk sosial dan makhluk susila.
a.
Manusia
Sebagai Makhluk Individu (Individual Being)
Disadari atau tidak menusia
sering memperlihatkan dirinya sebagai makhluk individu, seperti ketika mereka
memaksakan kehendaknya (egoisme), memecahkan masalahnya sendiri, percaya diri,
dan lain-lain. Menjadi seorang individu manusia mempunyai ciri khasnya
masing-masing. Antara manusia satu dengan yang lain berbeda-beda, bahkan orang
yang kembar sekalipun, karena tidak ada manusia di dunia ini yang benar-benar
sama persis. Fisik boleh sama, tetapi kepribadian tidak.
b.
Manusia
Sebagai Makhluk Sosial (Sosial Being)
Telah kita ketahui bersama bahwa manusia tidak
dapat hidup sendirian, manusia membutuhkan manusia lain agar bisa tetap exsis
dalam menjalani kehidupan ini, itu sebabnya manusia juga dikenal dengan istilah
makhluk sosial. Keberadaanya tergantung oleh manusia lain. Esensi manusia
sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status dan posisi
dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya
di dalam kebersamaan itu.
c.
Manusia
Sebagai Makhluk Susila (Moral Being)
Asas pandangan bahwa manusia
sebagai makhluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia
secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma. Asas kesadaran
nilai, asas moralitas adalah dasar fundamental yanng membedakan manusia dari
pada hidup makhluk-makhluk alamiah yang lain. Rasio dan budi nurani menjadi
dasar adanya kesadaran moral itu.
4)
Manusia dalam pandangan
Islam
Dalam Al-Qur’an ada beberapa istilah untuk
menyebut manusia, yaitu basyar (35 kali dalam bentuk mufrod dan sekali
dalam bentuk mustasna), al-ins (18 kali), al-insan (65 kali), an-naas
(240 kali), bani adam ( 7 kali), dan dzuriyah adam (1 kali).[6] Masing-masing istilah tersebut
memilki makna yang berbeda.
a.
Basyar. Kata
basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu
yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti
kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan
kulit binatang yang lain. Kata basyar ini menunjuk pada manusia sebagai makhluk
biologis yang memerlukan makanan, minuman, udara, dan melakukan aktifitas fisik
sama seperti makhluk-makhluk hidup lainnya (Q.S. Al-Mukminuun 23 : 33, Q.S. Hud
11 : 27, Q.S. Al-Hijr 15 : 33, Q.S. Al-Kahfi 18 : 110, dsb).
b.
Al-Ins. Kata
ini digunakan untuk menunjuk sifat manusia sebagai makhluk yang jinak atau
beradab, tidak liar dan tidak biadab, kebalikan dari sifat jin sebagai makhluk
metafisik yang bersifat liar dan bebas karena tidak mengenal ruang dan waktu.
Itulah barangkali rahasia kenapa kata al-ins selalu disebut bersamaan dengan
kata al-jin sebagai lawannya. (Q.S. Adz-Dzariyat 51 : 56, Q.S Al-Isra’ 17 : 88,
Q.S Al-Jin 72 : 6, dsb)
c.
Al-Insan.
Sekalipun kata ini memiliki akar kata yang sama dengan al-ins, tetapi dari segi
makna penggunaan kata al-insan menunjuk kepada manusia sebagai makhluk yang
layak menjadi khalifah di bumi dan mampu memikul akibat-akibat taklif serta
memikul amanah, sebab dia mendapat keistimewaan mempunyai akal dan kemampuan
berfikir, pandai berbicara, dan oleh karenanya memiliki kemampuan untuk memilih
mana yang baik dan mana yang buruk. (Q.S. Al-‘Alaq 96 : 1-8)
d.
Bani dan
Dzuriyyah Adam. Kata ini digunakan juga untuk manusia yang merujuk pada nama
manusia pertama diciptakan oleh Allah SWT, yaitu Nabi Adam as. (Q.S. Al-A’raf 7
: 31, Q.S. Maryam 19 : 58)
e.
An-Naas. Kata
ini adalah kata keseluruhan yang menunjukkan bahwa manusia itu sebagai basyar,
al-ins, al-insan, bani dan dzuriyah adam. (Q.S. Al-Hujarat 49 : 13)[7]
Itulah tipologi manusia ditinjau
dari berbagai aspeknya. Masing-masing cabang keilmuan memahami manusia dengan cara
yang berbeda sesuai dengan sudut pandang keilmuannya. Namun pada prinsipnya,
manusia diciptakan oleh Tuhan tidak dengan kesia-siaan. Manusia dianugerahi
oleh Tuhan berupa akal dengan tujuan agar mereka memahami diri dan sekitarnya
dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan akal
itu pula, manusia bisa berkreasi secara dinamis dalam menjalani kehidupannya,
memilih jalannya, dan membangun masa depannya. Itulah jalan kebebasan yang
diberikan Tuhan, manusia tinggal memilih, jalan taat, atau jalan sesat.
B.
Hakekat dan Tujuan Penciptaan Manusia
Ada teori besar yang pernah diperkenalkan oleh Charles Darwin tentang asal
muasal manusia. Teori itu mengatakan bahwa manusia pada mulanya adalah kera
yang kemudian ber-evolusi melalui perubahan-perubahan mekanis yang pada
akhirnya berubah menjadi manusia sempurna seperti kita.
Munculnya teori ini sangat menyinggung kaum agamawan pada waktu itu, dan bahkan
sampai saat ini. Berbagai argumen pun bermunculan untuk meruntuhkan teori
tersebut. Terlepas dari benar atau salahnya teori itu, sebagai seorang muslim,
perlu kiranya kita memahami asal usul manusia dengan merujuk pada sumber utama
kita, yaitu Al-Qur’an, sekaligus memperbandingkan apakah teori dari Darwin
tersebut sejalan dengan Al-Qur’an atau justru bertentangan.
Dalam Al-Qur’an sangat jelas bahwa manusia pada mulanya tidak seperti yang
dikatakan oleh Darwin melalui teorinya. Akan tetapi manusia pertama (Nabi Adam
as) adalah salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan dengan sempurna, atau dalam
bahasa Qur’an dikatakan ahsani taqwiim. Ahsani taqwim ini
menunjukkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk Allah
yang lain, baik itu hewan, jin, maupun malaikat. Secara lebih rinci Al-Qur’an
telah menjelaskan tentang penciptaan
manusia, hal tersebut dapat dikategorikan dalam 4 cara, (1) diciptakan dari
tanah (penciptaan nabi adam) : Q.S. Al-Hijr 15 : 26, (2) Diciptakan dari tulang
rusuk (penciptaan hawa) : Q.S. An-Nisa’ 4 : 1, (3) diciptakan melalui seorang
ibu melalui proses kehamilan tanpa ayah/ tanpa proses biologis (penciptaan nabi
isa as) : Q.S. Maryam 19 : 16-22), dan (4)
diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis
(penciptaan manusia selain adam, hawa, dan isa) : Q.S. Al-Mu’minuun 23 : 12-14.
[8]
Lalu apa tujuan diciptakannya manusia?
Allah menciptakan manusia, tidak dengan kesia-siaan. “Maka apakah kamu
mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu
tidak akan dikembalikan kepada Kami?” [Al-Mu’minun: 115]. Atau tidaklah manusia diciptakan sebatas untuk menikmati kehidupan
dunia dan segala keindahannya. Pada hakekatnya Allah menciptkan manusia tujuannya
adalah :
1.
Untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, (Q.S. Adz-Dzariyat 51 : 56).[9]
Harus ditekankan disini, bahwa menyembah dalam
ayat tersebut tidak dimaksudkan sebagai upacara ritual-seremonial (religious
system) yang umum kita pahami, namun ibadah disini dipahami secara umum, jauh
lebih luas dari pemaknaan itu, yaitu aktifitas mendekatkan diri kepada Allah
dengan segala cara yang dibenarkan oleh Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) dalam
semua aspek kehidupan.[10]
2.
Untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana
firman Allah kepada para malaikat tatkala akan menciptakan manusia:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي
الأرْضِ خَلِيفَةً ......
Artinya : “ Ingatlah, ketika Tuhanmua berkata
kepada para malaikat, Aku akan menciptakan khalifah di atas bumi”, (Q.S.
Al-Baqarah 2 : 31).
Secara etimologis, khalifah berarti pengganti atau yang mewakili. Jika Umar
bin Khattab disebut Khalifah dalam memimpin negara, maka manusia adalah
makhluk yang diberi amanah oleh Allah untuk mengelola bumi ini atas nama Allah.
Semula para malaikat mengira bahwa, tugas adam dan anak cucunya hanyalah
beribadah kepada Allah dalam arti sempit, seperti bertasbih dan memuji-Nya.
Oleh sebab itu malaikat bertanya, apakah tidak cukup kami (malaikat) yang
senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Allah. Tetapi rupanya Allah
menginginkan manusia tidak hanya beribadah dalam arti sempit, tetapi juga
beribadah dalam arti seluas-luasnya yang dalam ayat ini disebut sebagai
Khalifah.
Dengan demikian, tugas kekhalifahan manusia belum terlaksana manakala
manusia hanya sekedar melakukan ibadah dalam arti sempit (ritual-seremonial),
namun manusia dituntut juga untuk mengelola secara dinamis dan kreatif
kehidupan di atas permukaan bumi ini.
3.
Tujuan lain dari penciptaan manusia adalah untuk menyeru kepada sesama
dalam kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar (amar ma’ruf dan nahi munkar). “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentu itu
lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan
diantara mereka adalah orang-orang fasik.” [Ali Imran: 110]. Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia juga mengemban
tugas untuk saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar.
4.
Dambaan manusia yang benar adalah kebaikan di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al- Baqarah 200-201 :
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (٢٠٠)وَمِنْهُمْ
مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (٢٠١)
Artinya : “ Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka
berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan)
nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara
manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di
dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan
di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa
neraka".
5.
Ridho Allah harus menjadi tujuan hidup manusia. Allah SWT berfirman dalam Q.S. At-Taubah : 100
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١٠٠)
Artinya : “orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.”[11]
Dengan demikian, tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk
mengabdikan dirinya kepada sang pencipta. Yaitu pengabdian yang tulus tanpa ada
tendensi apapun selain hanya ingin mendapat ridho-Nya. Seperti halnya ayat yang
sering kita baca, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku,
semuanya adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. Karena kita adalah
milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
C.
Fitrah Manusia
Allah menciptakan umat manusia dengan fitrah
bertuhan. Tidak ada manusia yang lahir tidak bertuhan, semuanya dilahirkan
dalam keadaan mengakui adanya Tuhan. Secara metaforis Allah menggambarkan bahwa
setiap manusia sudah memberikan kesaksian sejak alam rahim bahwa Allah adalah
Tuhannya. Hal itu dinukil oleh Allah dalam firman-Nya :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankan Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab: Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani
adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaaan Tuhan)”. (Q.S.
Al-A’raf 7 : 172)
Menurut ibnu Katsir, ayat ini menjelaskan
bahwa setiap manusia anak cucu adam telah memberikan kesaksian sebelum mereka
dilahirkan bahwa Allah adalah Rabb mereka, Malik dan Ilah-nya, tidak ada Ilah
melainkan Allah semata (Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir). Oleh karena itu Allah
memerintahkan kepada umat manusia untuk tetap berada dalam fitrah Tauhid
tersebut dengan cara mengikuti agama Allah yang lurus (Islam).[12]
Fitrah bertuhan itu hanyalah potensi dasar
yang harus dipelihara dan dikembangkan. Kedua orangtualah yang berkewajiban
untuk memelihara dan mengembangkannya sehingga setelah dewasa nanti anaknya
tetap menjadi Muslim. Dalam konteks ini Rasulullah bersabda: “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang berperan) merobah
anak itu menjadi seorang yahudi, nasrani, atau majusi”. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam sebuah riwayat, abu Hurairah
merekomendasikan hadits tersebut agar dikaitkan dengan Q.S. Ar-Rium 30 :30 :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ
الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٣٠)
Artinya : Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.
Fitrah dengan arti pembawaan dapat berarti islam, dan beriman-tauhid sesuai
sabda nabi Nabi Muhammad SAW kepada sahabat Barra’ ibn ‘Azib setelah beliau
mengajarkan doa menjelang tidur, beliau lalu memberi penjelasan yang maksudnya,
bila ‘Azib kemudian meninggal setelah mengucapkan doa itu, maka dia meninggal
dalam keadaan fitrah, maksudnya dalam keadaan iman, bertauhid, dan Islam.[13]
Kemudian dalam riwayat lain diceritakan, bahwa
Al-Aswad ibn Sari’ dari bani Sa’ad –yang mengikuti 4 peperangan bersama
Rasulullah- bahwa dalam suatu peperangan pasukan islam membunuh anak-anak
setelah membunuh pasukan musuh. Tatkala
berita itu sampai pada Rasulullah, beliau sangat marah dan menegur dengan keras
: “Kenapa mereka membunuh anak-anak?” salah seorang memberikan jawaban : “ Ya
Rasulullah, bukankah mereka itu anak-anak kaum musrikin?” Rasulullah menjawab :
“Yang terbaik diantara kalian pun juga anak-anak kaum musrikin. Ketauhilah
bahwa tidaklah seorang pun dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan Fitrah.
Dia akan tetap dalam fitrahnya itu sampai lisannya sendiri merobahnya. Maka
kedua orangtuanyalah yang meyahudikan dan menashranikannya. (HR. Ibn Jarir)[14]
D.
Pendidikan Manusia Adalah Mengarahkan Fitrahnya
Untuk mencapai kualitas seperti yang
diinginkan Allah itu diperlukan pendidikan terus menerus dari ayunan sampai
liang lahat. Pendidikan manusia haruslah dapat menyentuh unsur-unsur manusia
secara seimbang dan harmonis, yaitu unsur emosional, spiritual, dan intelektual.
Tiga kecerdasan
tersebut mengandung hubungan unity is diversity-diversity is unity,
artinya, masing-masing kecerdasan tersebut adalah kecerdasan yang berbeda,
namun pada keberbedaannya mengandung hubungan yang integratif-holistik, semua
saling terkait.
Integralisasi
tiga kecerdasan tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh, karena jika
hanya fokus pada salah satu diantara ketiganya, maka akan banyak ketimpangan
terjadi dalam masyarakat kita. Penulis menemukan banyak fakta menarik disekitar
kita kaitannya dengan ketimpangan itu. Misalnya, ada banyak ahli ibadah namun tidak memiliki semangat thalabul ‘ilmi.
Banyak orang yang cerdas, pintar, dan berpengetahuan, namun korupsi. Banyak
orang yang memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kesenjangan sosial, namun
tidak pernah shalat, dan lain sebagainya. Singkatnya, dalam pendidikan telah
terjadi proses dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan
maupun keagamaan.
Dalam hal ini
Amin Abdullah pernah menulis pada salah satu artikelnya, pola pikir yang serba bipolar-dikotomis menjadikan
manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, terasing dari
dirinya sendiri, terasing dari keluarga dan masyarakat sekelilingnya, terasing
dari lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang kehidupannya, serta
terasing dari denyut nadi lingkungan sosial-budaya sekitarnya.[15]
Al-Qur’an yang turun ribuan tahun lalu bahkan
telah memberikan konsep yang bagus tentang ketiga kecerdasan tersebut. Mari
kita lihat Surat Ali ‘Imron ayat 190-191, yang artinya, “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “ Ya Tuhan kami tidaklah
engkau menciptakan semua ini sia-sia; maha suci engkau; lindungilah kami dari
adzab neraka.”
Untuk
mengetahui makna ulul albab, hendaknya kita memahami kata ulul-albab dalam
setiap konteks ayat yang memunculkan kata itu. Kata Ulul-albab disebut enam
belas kali dalam Al-Qur’an. Secara ringkas, makna ulul albab adalah kelompok
manusia tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT, dan di antara
keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan,
disamping pengetahuan yang diperoleh secara empiris.
Ayat di atas
(Q.S. Ali ‘Imron : 190-191) mengandung makna bahwa karakter ulul albab adalah
(1) orang-orang yang selalu ingat kepada Allah meskipun dalam keadaan berdiri,
duduk, dan berbaring, (2) orang-orang yang selalu memikirkan realitas alam dan
sosial disekitarnya, (3) aktifitas dzikir dan fikir tersebut pada akhirnya
bermuara pada ketakjuban hamba kepada sang pencipta, Allah SWT.
Rektor UIN
Malang, Imam Suprayogo, pernah juga menuliskan bahwa, sebagai seseorang yang
menyandang Ulul Albab, ia adalah sekaligus sebagai seorang ilmuwan, atau ulama
sejati. Ia selalu bertanya tentang ciptaan Allah yang dahsyat, yaitu alam dan
jagad raya ini. Tidak henti-hentinya ia bertanya tentang apa, dari mana dan
kemana semua ciptaan ini. Segala yang diciptakan oleh Allah dalam keadaan
sempurna dan tidak ada yang sia-sia. Pergumulan dan penjelajahan pemikirannya,
sebagai seorang penyandang Ulul Albab, akan melahirkan sifat-sifat mulia, yaitu
bersyukur, sabar, ikhlas, tawadhu, tawakkal, istiqomah, dan selalu berserah
diri hanya pada Allah swt.[16]
Selain ulul-albab, islam juga mengenal konsep “manusia sempurna”,
kesempurnaan manusialah yang membedakan dengan makhluk lainnya. Pada dasarnya
makhluk lain selain manusia juga memiliki unsur kesempurnaan, namun
kesempurnaan pada itingkat masing-masing. Jika malaikat diciptakan dengan unsur
kesucian tanpa adanya aspek keduniawiaan (nafsu, marah, dengki, dsb), sedangkan
hewan sebaliknya, sepenuhnya duniawi dan dan tidak mempunya apa yang oleh
Al-Qur’an disebut ruh ilahi. Namun manusia adalah paduan keduanya, kemalaikatan
sekaligus keduniaan, tinggi sekaligus rendah.[17] Makanya dalam Al-Quran juga disebut bahwa manusia selain bisa memiliki
derajad ahsani taqwim, ia juga bisa turun dalam derajat asfalasaafiliin.
Ini yang harus disadari oleh para pendidik bahwa potensi baik manusia ini harus
dikembangkan dengan cara yang baik pula, jangan sampai sifat kehewanannya yang
mendominasi kelakuannya.
Begitulah
seharusnya pendidikan membentuk karakter seseorang. Membentuk pribadi yang
memiliki kepekaan intelektual, yaitu kepekaan untuk selalu menggali dan
memahami rahasia Allah di balik semua fenomena; fenomena alam semesta, fenomena
sosial-historis, kemajuan teknologi, dan fenomena-fenomena lainnya. Dari aspek
spiritualitas, menyadarkan seseorang bahwa ada kekuatan yang maha dahsyat yang harus selalu diingat
dalam kondisi apapun, baik suka maupun duka, berlimpah rizki maupun kesulitan
rizki, lapang maupun sempit, sehat maupun sakit, dan lain sebagainya, sehingga orang tersebut memiliki komitmen yang tinggi terhadap agama islam. Dan muara dari
pendidikan seperti itu adalah bertambahnya keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT seraya mengatakan, “maha suci engkau; lindungilah
kami dari adzab neraka.” Barangkali inilah yang disebut pendidikan yang
sejalan dengan fitrah Ilahiyah atau fitrah Islam. wallahu a’lam.
PENUTUP
Pembahasan
tentang manusia memang sangat menarik, karena selain sebagai subjek dalam
berbagai hal di muka bumi ini, manusia juga menjadi objek kajian oleh dirinya
sendiri. Terbukti sampai sekarang manusia belum menemukan hakikat tentang
dirinya secara memuaskan. Oleh sebab itu melalui pembahasan singkat di atas
setidaknya kita mengetahui tentang tipologi manusia, tujuan penciptaan manusia,
dan kemana orientasi pendidikan dalam mengarahkan manusia.
Pada prinsipnya, Tuhan tidak bermain-main dalam
menciptakan makhluk-Nya (termasuk manusia). Tujuan penciptaan manusia ini sudah
dituliskan oleh-Nya dalam kitab-Nya yang agung. Dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan
bahwa tujuan penciptaan manusia tidak lain dan tidak bukan adalah untuk
mengabdi kepada-Nya dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan hanya sekedar
pengabdian yang sifatnya ritual-seremonial. Tapi pengabdian yang mencakup
seluruh aspek kehidupan, selama bukan sesuatu yang dilarang oleh-Nya.
Selain itu manusia juga dibekali fitrah
ketuhanan oleh Allah, artinya, pada dasarnya semua manusia memiliki perjanjian
untuk pengabdian kepada-Nya. Fitrah itulah yang harus diarahkan dalam
pendidikan. Sehingga pendidikan seharusnya bermuara pada keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah. Itulah yang menurut saya puncak pencapaian pendidikan islam yang
paripurna. Wallahua’lam wahua almusta’an.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Jannan Asifudin, Mengungkit
Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofi), Suka Press : Yogyakarta.
Departemen Agama, Al-Qur’anul
Karim (Syamilul Qur’an), PT. Sygma Examedia Arkanleema : Bandung.
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa
Psikologi dan Pendidikan), PT Alhusna Zikra : Jakarta.
Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan
(Manusia, Filsafat, dan Pendidikan), Ar-Ruzz Media: Yogyakarta.
Makalah Prof. Dr. Amin Abdullah. MA. Ph. D
dengan judul, “ Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan
Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah
Teoantroposentrik-Integralistik) )”, dalam buku Strategi Pendidikan Upaya Memahami Wahyu dan Ilmu.
Murtadha Muthahhari, Manusia
Sempurna (Pandangan Islam tentang Hakikat Manusia), (Jakarta : Penerbit
Lentera, 1994).
Muhammad Yasir Nasution, Manusia
Menurut Al-Ghozali, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1999.
Yunahar Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an, LABDA Press:
Yogyakarta, 2007.
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara :
Jakarta, 1995.
Http.www.Imamsuprayogo.blogspot.com//manusiaululalbab
[1]
Dra. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta, 1995, hal. 71
[2]
Ibid, Hal. 72
[3]
Dr. Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghozali, Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 1999, Hal. 73
[4]
Prof. Jalaluddin & Prof. Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia,
Filsafat, dan Pendidikan), Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, hal. 130
[5]
Dra. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara : Jakarta, 1995, hal.
73-74
[6]
Dr. Yunahar Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an, LABDA Press: Yogyakarta,
2007, Hal. 1.
[7] Ibid,
Hal. 1-6
[8]
Op. Cit. Hal. 7-13
[9]
Departemen Agama, Al-Qur’anul Karim (Syamilul Qur’an), PT. Sygma Examedia
Arkanleema : Bandung.
[10]
Prof. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan), PT Alhusna Zikra : Jakarta, Hal. 4.
[11]
Ahmad Jannan Asifudin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan
Filosofi), Suka Press : Yogyakarta, Hal. 48-49
[12] Dr.
Yunahar Ilyas, Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an, LABDA Press: Yogyakarta,
2007, Hal. 18
[13]
Muhammad Aliy Ash-Shabuny, dikutib oleh Ahmad Janan Asifudin, Mengungkit
Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tibjauab Filosofis), (Yogyakarta : SU-KA
Press, 2009), Hal. 47.
[14]
Op.cit. 20
[15] Makalah Prof. Dr. Amin Abdullah. MA. Ph. D
dengan judul, “ Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan
Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekularistik ke Arah
Teoantroposentrik-Integralistik) )”, dalam buku Strategi Pendidikan Upaya Memahami Wahyu dan Ilmu.
[16]
Http.www.Imamsuprayogo.blogspot.com//manusiaululalbab
[17]
Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna (Pandangan Islam tentang Hakikat
Manusia), (Jakarta : Penerbit Lentera, 1994), cet. 2, Hal.11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar