(Oleh : Dedik F Anwar)
Jika
kita bertanya kepada masyarakat tentang arti pentingnya sebuah pendidikan,
pasti semua orang sepakat kalau pendidikan itu penting, tentunya dengan berbagai
alasan yang melatar belakanginya. Namun kalau pertanyaannya kita rubah,
“Sekolah, penting gak sih?”, jawaban mereka pasti bermacam-macam, ada yang
menganggap penting, ada yang bilang tidak begitu penting, dan bisa jadi ada
yang menilai bahwa sekolah itu tidak penting. Tentunya masing-masing orang
punya argumen yang berbeda.
Bagi
yang menganggap sekolah itu penting, mungkin menurutnya, di sekolah mereka bisa
belajar hal baru, bisa bersosialisasi dengan teman sebaya dari berbagai latar
belakang, menambah teman, menggali ilmu sedalam-dalamnya dari guru yang
cerdas-cerdas, dapat ijazah untuk memuluskan cita-citanya di masa depan, dan serangkaian
alasan-alasan lainnya, baik alasan yang idealis maupun pragmatis. Bagi yang
menganggap tidak begitu penting, mungkin baginya sekolah adalah tempat yang
membosankan, tempat yang mengikat kebebasan anak-anak untuk ber-ekspresi,
tempat paling efektif untuk membuat anak-anak frustasi dengan banyaknya beban
yang diberikan, dan sebagainya. Sedangkan bagi yang menganggap tidak penting,
mungkin menurutnya, sekolah adalah tempat yang membodohkan, bukan tempat yang
mencerdaskan; tempat maraknya kemunafikan, bukan kejujuran; tempat penindasan,
bukan pembebasan; belum lagi terbukanya peluang perbuatan maksiat bagi para
siswa siswinya, dan lain sebagainya. Memang tidak sepenuhnya benar, namun harus
kita akui, begitulah faktanya.
Sekolah,
memang sangat menarik untuk dibahas, karena tidak akan pernah ada akhir
ceritanya, setidaknya selama sekolah masih ada. Sekolah adalah dunia dimana
proses belajar mengajar berlangsung. Mendengar kata “sekolah”, pada umumnya
seseorang akan membayangkan suatu tempat di mana orang-orang melewatkan
sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu, mulai dari PAUD
sampai SMA, dari masa kanak-kanak sampai usia dewasa. Disana bisa kita dapati
guru dengan segudang ilmu, yang tak kenal lelah menuntun laku. Siswa-siswi yang
menggantungkan nasibnya demi masa depannya yang cerah. Gedung yang berdiri
dengan megah. Fasilitas belajar yang tertata dengan indah. Serangkaian
aturan-aturan yang terpasang dengan gagah. Ruang belajar yang representatif. Juga
kurikulum yang ter-planning dengan apik. Semuanya menyatu dalam
sebuah sistem yang bernama sekolah.
Sekolah
adalah sebuah bangunan yang tidak berfungsi jika tidak ada yang menjalankannya.
Sama halnya dengan motor, tidak akan bisa berjalan kalau tidak ada yang
menjalankannya. Siapa yang menjalankan? Ada yang bilang sistem. Siapa yang
membuat dan menjalankan sistem? Tentunya manusia. Jika berbicara masalah
sekolah maka disana pasti ada yang namanya komite sekolah, jajaran pimpinan (
kepala sekolah dan waka-wakanya), para guru, karyawan, dan siswa. Merekalah
super heronya sekolah, baik dan buruknya sekolah ada di tangan mereka. Dari mereka
kemudian terbentuk kurikulum dan sistem persekolahan, semua itu tersusun untuk
mempermudah kinerja semua elemen yang ada di sekolah dalam rangka mewujudkan
cita-cita yang telah dibangun bersama. Dari situ kemudian sekolah bergerak
menjalankan peran/ fungsinnya dengan nahkoda kepala sekolah dan dibantu oleh awak-awaknya.
Sehingga
menurut saya, seberapa pentingnya sekolah itu tergantung pada bisa atau
tidaknya sekolah memainkan perannya sebagai tempat “pendidikan” bagi para
siswanya. Karena berbicara masalah sekolah, maka tidak akan terlepas dari
persoalan pendidikan. Pendidikan dan sekolah, menurut saya, memiliki hubungan
yang sangat erat. Ibarat telur ayam, putihnya adalah pendidikan, dan kuningnya
adalah sekolah. Artinya, sekolah adalah bagian terpenting dalam proses
transformasi ilmu pada seseorang (pendidikan).
Lalu,
bagaimana negara memandang pendidikan, dan bagaimana pendidikan dikatakan
berhasil?
Jika
kita searching di prof. google tentang makna pendidikan, maka kita akan
menemukan banyak sekali definisi pendidikan disana, baik dari tokoh pendidikan
Nasional seperti Ki Hajar Dewantara, HAMKA, Abdul Kahar Mudzakkir, dsb, maupun
tokoh pendidikan dunia, seperti Paolo Frire, John Dewey, John Locke, dsb.
Berhubung
kita bicara tentang sekolah dan pendidikan dalam konteks ke-Indonesiaan, maka
saya akan mengambil definisi dan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah RI,
dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam UUD 1945 tentang
pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3
menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Sekedar untuk
memperkuat definisi di atas, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga
UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization)
mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan,
yakni: (1) learning
to Know, (2) learning to do (3) learning
to be, dan (4) learning to live together. Dimana
keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ dan SQ.
Adanya
pendidikan adalah wujud dari adanya keyakinan bahwa setiap manusia memiliki
potensi untuk berkembang. Meskipun manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah,
namun perkembangan anak ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia
tinggal. Bahkan ada adagium yang berbunyi, jangan sampai kita salah memilih
kawan, karena salah memilih kawan berarti salah meniti jalan, logikanya, jika
kita berteman dengan tukang parfum, maka kita akan terpercik bau parfum itu,
dan jika kita berteman dengan pandai besi, maka kita akan kecipratan aromanya.
Sehingga menciptakan lingkungan yang baik adalah langkah yang efektif untuk
membentuk pribadi yang baik. Dan sekolah beserta elemen yang ada didalamnya
memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang baik itu.
Dengan
demikian, secara sederhana dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk menumbuh kembangkan potensi
anak didik yang mencakup aspek emosional, intelektual, dan spiritual, sehingga
mereka memiliki ketiga kecerdasan tersebut. Sehingga, mau tidak mau, suka tidak
suka, sekolah harus bisa menjadi mitra negara untuk membentuk manusia-manusia
yang diinginkan oleh negara sebagaimana tercantum dalam undang-undang
pendidikan. Sebagaimana kata Aristoteles, tujuan pendidikan sama dengan tujuan
didirikannya suatu negara. Begitu juga dengan Indonesia, yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, ingin menciptakan manusia Pancasila.
Jadi selama
sekolah mampu memainkan perannya sebagai wadah pendidikan dalam artian diatas,
maka keberadaan sekolah adalah sebuah keniscayaan. Karena diakui atau tidak,
masyarakat menilai penting atau tidaknya sekolah sangat tergantung pada
kualitas sekolah dalam menggembleng anak didik nya. Jika sekolah bisa menjadi
tempat belajar yang mencerdaskan, membebaskan, dan membentuk manusia yang
bermoral maka masyarakat akan menilai bahwa keberadaan sekolah terasa sangat
penting. Adapun hal yang paling mudah untuk menilai apakah sekolah itu bermutu
atau tidak adalah dengan melihat semaksimal apa proses pendidikan dijalankan
dan sekualitas apa anak didik yang telah diluluskan, semakin baik, atau justru
semakin jelek. Inilah yang harus diupayakan oleh semua sekolah di berbagai
jenjang, yaitu menjadi tempat yang mencerdaskan.
Jika
kita berbicara tentang dunia sekolah dari sudut pandang yang ideal, maka semua
akan terasa manis dan indah. Lalu bagaimana jika kita berbicara dunia sekolah
dari kaca mata fakta dan realitanya?
Ada
testimoni menarik tentang sekolah yang mungkin juga dirasakan banyak siswa
ketika berada dalam sebuah sistem sekolah, dan ini menjadi cambuk sekolah serta
semua elemen yang ada didalamnya untuk mencermati kembali sistem yang telah
dirumuskannya. Katakan saja namanya Andi.
Dari SD sampai SMP. saya tidak pernah
Ranking. mungkin Faktor kemalasan saya belajar. dan itu pun berlanjut pada SMK.
tapi saya Ingin membanggakan Orang Tua dengan Nilai Bagus. So saya terus
mengerjakan tugas Sebagus-Bagusnya. tapi Omong Kosong dengan Pengajaran Di
Sekolah. saya tidak mendapat ilmu apa-apa. kecuali apa yang saya senangi. dan
Hanya Menghafal saya bisa dapat Nilai Bagus Saat Ulangan tapi saya tidak
mengerti apa yang saya Pelajari. Tapi Saya Rangking. dan Ranking itu di dapat
dari Menghafal Bukan "BISA". Dan Ini terjadi Dalam Keluarga saya ,
Tepatnya Bapak Saya.
Ibu Saya Selalu berkata, bapakmu pintar. Nenek saya pun selalu berkata Bapakmu Pintar. Nenek saya bercerita bahwa Rapot Bapakmu Selalu di Lihat Oleh Nenek. dan Nenek Terkejut bahwa Nilainya It's Realy-Realy Amazing. tak ada yang di bawah 90 . dan paling mengesankan itu B.Inggris 100. So ? tapi dalam kehidupan sehari-hari saya tidak pernah mendengar bapak saya mengucapkan bahasa Inggris. tapi saya hanya melihat dia bisa menulis/mengetik dalam bahasa inggris dengan kata - kata yang baik. mungkin pernah mendapatkan di sekolah-sekolah. And My Father adalah Mantan Anggota DPRD. tapi I'm Not Happy. Setelah menjadi "MANTAN" bapak saya sampai saat ini Menganggur. So It's Right "Pintar Di Sekolah, Bukan Berarti Sukses di Masa Depan". So Kita Renungkan. dengan Hati..
Ibu Saya Selalu berkata, bapakmu pintar. Nenek saya pun selalu berkata Bapakmu Pintar. Nenek saya bercerita bahwa Rapot Bapakmu Selalu di Lihat Oleh Nenek. dan Nenek Terkejut bahwa Nilainya It's Realy-Realy Amazing. tak ada yang di bawah 90 . dan paling mengesankan itu B.Inggris 100. So ? tapi dalam kehidupan sehari-hari saya tidak pernah mendengar bapak saya mengucapkan bahasa Inggris. tapi saya hanya melihat dia bisa menulis/mengetik dalam bahasa inggris dengan kata - kata yang baik. mungkin pernah mendapatkan di sekolah-sekolah. And My Father adalah Mantan Anggota DPRD. tapi I'm Not Happy. Setelah menjadi "MANTAN" bapak saya sampai saat ini Menganggur. So It's Right "Pintar Di Sekolah, Bukan Berarti Sukses di Masa Depan". So Kita Renungkan. dengan Hati..
Kasus
lain dalam dunia sekolah yang mungkin juga terjadi pada kita adalah guru ingin
murid menjadi sepandai gurunya dalam hal pelajaran yang diampu gurunya itu. Coba
para guru renungkan, apakah kalian termasuk guru yang seperti itu? Guru
matematika ingin muridnya pintar matematika, begitu juga guru-guru yang lain. Jika
ada 26 mata pelajaran (dulu di SMA saya ada 26 mata pelajaran, hehe...), maka
siswa dituntut untuk menguasai semua mata pelajaran tersebut dengan baik,
padahal tidak ada manusia yang sempurna. Lha wong gurunya juga hanya expert
pada satu bidang studi saja, kok siswanya dituntut untuk menguasai semua.
Pernah
suatu ketika saya melakukan apersepsi dikelas, saya tanya kepada murid-murid
saya, “coba siapa yang masih ingat apa pengertian dari kalam?”, ada salah satu dari
anak yang menjawab dengan jawaban yang sama sekali tidak saya duga, “ ya wajar
to pak kalau kami lupa, bapak kan belajarnya itu terus, disekolah juga ngajar
itu disemua kelas, lha kita, satu hari harus belajar 4 mata pelajaran yang
beda-beda, belum kalau satu minggu, satu bulan, dan seterusnya, semua minta
harus dipelajari, apa nggak mumet...” jawabnya dengan polos. Pada saat
itu pula muncul perasaan, “apa mungkin saya telah mendholimi anak-anak saya??”.
Kasus
lain misalkan, Apabila ada anak yang mempunyai nilai bagus di mapel kesenian
sedangkan nilai matematikanya jelek, maka banyak orang tua justru mengarahkan
anaknya untuk les matematika dibanding les seni. Potensi yang dimiliki anak
justru dimatikan hanya untuk mengejar mapel yang mungkin tidak disukai anak.
Sebaiknya anak les seni sedangkan matematika dibantu hanya untuk mencapai nilai
secukupnya.
Mungkin
banyak guru maupun orang tua yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Namun
faktanya, pendidikan di Indonesia memang hanya mengedepankan aspek kognitif
terutama kecerdasan matematis. Padahal menurut Edward Gardner ada 8 macam
kecerdasan pada manusia yaitu kecerdasan lingustik, kecerdasan matematis-logis,
kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetis jasmani, kecerdasan musikal,
kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Barangkali
selama ini banyak sekolah sudah merasa yakin dengan sistem yang telah
dirumuskan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai tempat pengajaran. Mungkin
juga banyak guru yang sudah merasa yakin dengan strategi yang diterapkan dalam
mengajar anak. Namun, disadari atau tidak, semua yang telah dirumuskannya itu
ternyata tidak seindah yang dibayangkan ketika sudah masuk dalam tataran
implementasi. Kurikulum yang telah dirancang dengan sangat bagus, ternyata
tidak mampu di implementasikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Akhirnya,
yang menjadi korban adalah para siswanya. Inilah yang saya katakan diawal tulisan
ini bahwa sekolah bisa saja menjelma menjadi tempat yang membodohkan, membunuh
potensi, dan tidak membebaskan bagi para siswanya.
Dan
kalau kita telusuri, ternyata kasus di atas banyak terjadi di negeri ini. Belum
lagi kasus lain. Sebut saja guru malas mengajar, profesi guru dinomor duakan,
guru tidak kompeten dibidangnya, sistem sekolah yang tidak merangkul semua
elemen yang ada, adanya gab antar elemen yang ada disekolah, saling melemparkan
tanggung jawab, kurang adanya komunikasi antara pihak sekolah dan wali murid,
dan kasus-kasus lain yang menghambat keberhasilan pendidikan. Inilah dinamika
yang sudah pasti ada di setiap sekolah, menarik dan menantang, namun harus
segera diatasi, sebelum sekolah tidak lagi menjadi penting buat anak-anak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar