Sabtu, 26 Oktober 2013

Sekolah, Penting Gak Sih ?



 (Oleh : Dedik F Anwar)

Jika kita bertanya kepada masyarakat tentang arti pentingnya sebuah pendidikan, pasti semua orang sepakat kalau pendidikan itu penting, tentunya dengan berbagai alasan yang melatar belakanginya. Namun kalau pertanyaannya kita rubah, “Sekolah, penting gak sih?”, jawaban mereka pasti bermacam-macam, ada yang menganggap penting, ada yang bilang tidak begitu penting, dan bisa jadi ada yang menilai bahwa sekolah itu tidak penting. Tentunya masing-masing orang punya argumen yang berbeda.
Bagi yang menganggap sekolah itu penting, mungkin menurutnya, di sekolah mereka bisa belajar hal baru, bisa bersosialisasi dengan teman sebaya dari berbagai latar belakang, menambah teman, menggali ilmu sedalam-dalamnya dari guru yang cerdas-cerdas, dapat ijazah untuk memuluskan cita-citanya di masa depan, dan serangkaian alasan-alasan lainnya, baik alasan yang idealis maupun pragmatis. Bagi yang menganggap tidak begitu penting, mungkin baginya sekolah adalah tempat yang membosankan, tempat yang mengikat kebebasan anak-anak untuk ber-ekspresi, tempat paling efektif untuk membuat anak-anak frustasi dengan banyaknya beban yang diberikan, dan sebagainya. Sedangkan bagi yang menganggap tidak penting, mungkin menurutnya, sekolah adalah tempat yang membodohkan, bukan tempat yang mencerdaskan; tempat maraknya kemunafikan, bukan kejujuran; tempat penindasan, bukan pembebasan; belum lagi terbukanya peluang perbuatan maksiat bagi para siswa siswinya, dan lain sebagainya. Memang tidak sepenuhnya benar, namun harus kita akui, begitulah faktanya.

Sekolah, memang sangat menarik untuk dibahas, karena tidak akan pernah ada akhir ceritanya, setidaknya selama sekolah masih ada. Sekolah adalah dunia dimana proses belajar mengajar berlangsung. Mendengar kata “sekolah”, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat di mana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu, mulai dari PAUD sampai SMA, dari masa kanak-kanak sampai usia dewasa. Disana bisa kita dapati guru dengan segudang ilmu, yang tak kenal lelah menuntun laku. Siswa-siswi yang menggantungkan nasibnya demi masa depannya yang cerah. Gedung yang berdiri dengan megah. Fasilitas belajar yang tertata dengan indah. Serangkaian aturan-aturan yang terpasang dengan gagah. Ruang belajar yang representatif. Juga kurikulum yang ter-planning dengan apik. Semuanya menyatu dalam sebuah sistem yang bernama sekolah.
Sekolah adalah sebuah bangunan yang tidak berfungsi jika tidak ada yang menjalankannya. Sama halnya dengan motor, tidak akan bisa berjalan kalau tidak ada yang menjalankannya. Siapa yang menjalankan? Ada yang bilang sistem. Siapa yang membuat dan menjalankan sistem? Tentunya manusia. Jika berbicara masalah sekolah maka disana pasti ada yang namanya komite sekolah, jajaran pimpinan ( kepala sekolah dan waka-wakanya), para guru, karyawan, dan siswa. Merekalah super heronya sekolah, baik dan buruknya sekolah ada di tangan mereka. Dari mereka kemudian terbentuk kurikulum dan sistem persekolahan, semua itu tersusun untuk mempermudah kinerja semua elemen yang ada di sekolah dalam rangka mewujudkan cita-cita yang telah dibangun bersama. Dari situ kemudian sekolah bergerak menjalankan peran/ fungsinnya dengan nahkoda kepala sekolah dan dibantu oleh awak-awaknya.
Sehingga menurut saya, seberapa pentingnya sekolah itu tergantung pada bisa atau tidaknya sekolah memainkan perannya sebagai tempat “pendidikan” bagi para siswanya. Karena berbicara masalah sekolah, maka tidak akan terlepas dari persoalan pendidikan. Pendidikan dan sekolah, menurut saya, memiliki hubungan yang sangat erat. Ibarat telur ayam, putihnya adalah pendidikan, dan kuningnya adalah sekolah. Artinya, sekolah adalah bagian terpenting dalam proses transformasi ilmu pada seseorang (pendidikan).
Lalu, bagaimana negara memandang pendidikan, dan bagaimana pendidikan dikatakan berhasil?
Jika kita searching di prof. google tentang makna pendidikan, maka kita akan menemukan banyak sekali definisi pendidikan disana, baik dari tokoh pendidikan Nasional seperti Ki Hajar Dewantara, HAMKA, Abdul Kahar Mudzakkir, dsb, maupun tokoh pendidikan dunia, seperti Paolo Frire, John Dewey, John Locke, dsb.
Berhubung kita bicara tentang sekolah dan pendidikan dalam konteks ke-Indonesiaan, maka saya akan mengambil definisi dan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah RI, dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam UUD 1945 tentang pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Sekedar untuk memperkuat definisi di atas, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ, EQ dan SQ.
Adanya pendidikan adalah wujud dari adanya keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk berkembang. Meskipun manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun perkembangan anak ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal. Bahkan ada adagium yang berbunyi, jangan sampai kita salah memilih kawan, karena salah memilih kawan berarti salah meniti jalan, logikanya, jika kita berteman dengan tukang parfum, maka kita akan terpercik bau parfum itu, dan jika kita berteman dengan pandai besi, maka kita akan kecipratan aromanya. Sehingga menciptakan lingkungan yang baik adalah langkah yang efektif untuk membentuk pribadi yang baik. Dan sekolah beserta elemen yang ada didalamnya memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang baik itu.
Dengan demikian, secara sederhana dapat kita tarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk menumbuh kembangkan potensi anak didik yang mencakup aspek emosional, intelektual, dan spiritual, sehingga mereka memiliki ketiga kecerdasan tersebut. Sehingga, mau tidak mau, suka tidak suka, sekolah harus bisa menjadi mitra negara untuk membentuk manusia-manusia yang diinginkan oleh negara sebagaimana tercantum dalam undang-undang pendidikan. Sebagaimana kata Aristoteles, tujuan pendidikan sama dengan tujuan didirikannya suatu negara. Begitu juga dengan Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, ingin menciptakan manusia Pancasila.
Jadi selama sekolah mampu memainkan perannya sebagai wadah pendidikan dalam artian diatas, maka keberadaan sekolah adalah sebuah keniscayaan. Karena diakui atau tidak, masyarakat menilai penting atau tidaknya sekolah sangat tergantung pada kualitas sekolah dalam menggembleng anak didik nya. Jika sekolah bisa menjadi tempat belajar yang mencerdaskan, membebaskan, dan membentuk manusia yang bermoral maka masyarakat akan menilai bahwa keberadaan sekolah terasa sangat penting. Adapun hal yang paling mudah untuk menilai apakah sekolah itu bermutu atau tidak adalah dengan melihat semaksimal apa proses pendidikan dijalankan dan sekualitas apa anak didik yang telah diluluskan, semakin baik, atau justru semakin jelek. Inilah yang harus diupayakan oleh semua sekolah di berbagai jenjang, yaitu menjadi tempat yang mencerdaskan.
Jika kita berbicara tentang dunia sekolah dari sudut pandang yang ideal, maka semua akan terasa manis dan indah. Lalu bagaimana jika kita berbicara dunia sekolah dari kaca mata fakta dan realitanya?
Ada testimoni menarik tentang sekolah yang mungkin juga dirasakan banyak siswa ketika berada dalam sebuah sistem sekolah, dan ini menjadi cambuk sekolah serta semua elemen yang ada didalamnya untuk mencermati kembali sistem yang telah dirumuskannya. Katakan saja namanya Andi.

Dari SD sampai SMP. saya tidak pernah Ranking. mungkin Faktor kemalasan saya belajar. dan itu pun berlanjut pada SMK. tapi saya Ingin membanggakan Orang Tua dengan Nilai Bagus. So saya terus mengerjakan tugas Sebagus-Bagusnya. tapi Omong Kosong dengan Pengajaran Di Sekolah. saya tidak mendapat ilmu apa-apa. kecuali apa yang saya senangi. dan Hanya Menghafal saya bisa dapat Nilai Bagus Saat Ulangan tapi saya tidak mengerti apa yang saya Pelajari. Tapi Saya Rangking. dan Ranking itu di dapat dari Menghafal Bukan "BISA". Dan Ini terjadi Dalam Keluarga saya , Tepatnya Bapak Saya.
Ibu Saya Selalu berkata, bapakmu pintar. Nenek saya pun selalu berkata Bapakmu Pintar. Nenek saya bercerita bahwa Rapot Bapakmu Selalu di Lihat Oleh Nenek. dan Nenek Terkejut bahwa Nilainya It's Realy-Realy Amazing. tak ada yang di bawah 90 . dan paling mengesankan itu B.Inggris 100. So ? tapi dalam kehidupan sehari-hari saya tidak pernah mendengar bapak saya mengucapkan bahasa Inggris. tapi saya hanya melihat dia bisa menulis/mengetik dalam bahasa inggris dengan kata - kata yang baik. mungkin pernah mendapatkan di sekolah-sekolah. And My Father adalah Mantan Anggota DPRD. tapi I'm Not Happy. Setelah menjadi "MANTAN" bapak saya sampai saat ini Menganggur. So It's Right "Pintar Di Sekolah, Bukan Berarti Sukses di Masa Depan". So Kita Renungkan. dengan Hati..


Kasus lain dalam dunia sekolah yang mungkin juga terjadi pada kita adalah guru ingin murid menjadi sepandai gurunya dalam hal pelajaran yang diampu gurunya itu. Coba para guru renungkan, apakah kalian termasuk guru yang seperti itu? Guru matematika ingin muridnya pintar matematika, begitu juga guru-guru yang lain. Jika ada 26 mata pelajaran (dulu di SMA saya ada 26 mata pelajaran, hehe...), maka siswa dituntut untuk menguasai semua mata pelajaran tersebut dengan baik, padahal tidak ada manusia yang sempurna. Lha wong gurunya juga hanya expert pada satu bidang studi saja, kok siswanya dituntut untuk menguasai semua.
Pernah suatu ketika saya melakukan apersepsi dikelas, saya tanya kepada murid-murid saya, “coba siapa yang masih ingat apa pengertian dari kalam?”, ada salah satu dari anak yang menjawab dengan jawaban yang sama sekali tidak saya duga, “ ya wajar to pak kalau kami lupa, bapak kan belajarnya itu terus, disekolah juga ngajar itu disemua kelas, lha kita, satu hari harus belajar 4 mata pelajaran yang beda-beda, belum kalau satu minggu, satu bulan, dan seterusnya, semua minta harus dipelajari, apa nggak mumet...” jawabnya dengan polos. Pada saat itu pula muncul perasaan, “apa mungkin saya telah mendholimi anak-anak saya??”.
Kasus lain misalkan, Apabila ada anak yang mempunyai nilai bagus di mapel kesenian sedangkan nilai matematikanya jelek, maka banyak orang tua justru mengarahkan anaknya untuk les matematika dibanding les seni. Potensi yang dimiliki anak justru dimatikan hanya untuk mengejar mapel yang mungkin tidak disukai anak. Sebaiknya anak les seni sedangkan matematika dibantu hanya untuk mencapai nilai secukupnya.
Mungkin banyak guru maupun orang tua yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Namun faktanya, pendidikan di Indonesia memang hanya mengedepankan aspek kognitif terutama kecerdasan matematis. Padahal menurut Edward Gardner ada 8 macam kecerdasan pada manusia yaitu kecerdasan lingustik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetis jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Barangkali selama ini banyak sekolah sudah merasa yakin dengan sistem yang telah dirumuskan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai tempat pengajaran. Mungkin juga banyak guru yang sudah merasa yakin dengan strategi yang diterapkan dalam mengajar anak. Namun, disadari atau tidak, semua yang telah dirumuskannya itu ternyata tidak seindah yang dibayangkan ketika sudah masuk dalam tataran implementasi. Kurikulum yang telah dirancang dengan sangat bagus, ternyata tidak mampu di implementasikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Akhirnya, yang menjadi korban adalah para siswanya. Inilah yang saya katakan diawal tulisan ini bahwa sekolah bisa saja menjelma menjadi tempat yang membodohkan, membunuh potensi, dan tidak membebaskan bagi para siswanya.
Dan kalau kita telusuri, ternyata kasus di atas banyak terjadi di negeri ini. Belum lagi kasus lain. Sebut saja guru malas mengajar, profesi guru dinomor duakan, guru tidak kompeten dibidangnya, sistem sekolah yang tidak merangkul semua elemen yang ada, adanya gab antar elemen yang ada disekolah, saling melemparkan tanggung jawab, kurang adanya komunikasi antara pihak sekolah dan wali murid, dan kasus-kasus lain yang menghambat keberhasilan pendidikan. Inilah dinamika yang sudah pasti ada di setiap sekolah, menarik dan menantang, namun harus segera diatasi, sebelum sekolah tidak lagi menjadi penting buat anak-anak...  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar