Jumat, 14 Desember 2012

HAKIKAT TAHU DAN PENGETAHUAN (Telaah Terhadap Hakikat “Pengetahuan” dalam Kajian Agama dan “Pengetahuan” dalam Kajian Filsafat)


 (Oleh : Dedik F Anwar)
A.     Pendahuluan
Dalam interaksi kita dengan masyarakat, seringkali muncul obrolan dan pertanyaan seputar kegiatan berfilsafat yang menuntut kita untuk berfikir memberikan jawaban yang tepat. Baik itu pertanyaan seputar kehidupan bermasyarakat, agama, maupun sains. Pertanyaan yang sederhana, rumit, maupun pertanyaan yang membutuhkan daya pikir yang radikal dan sistematis untuk menemukan jawabannya. Terkadang kita bisa memberikan jawaban yang memuaskan, tapi tidak jarang pula kita tidak mengetahui jawaban yang dikehendaki si penanya. Jawaban yang mendalam terhadap sebuah objek yang ditanyakan itulah yang dinamakan pengetahuan.
Pengetahuan merupakan khasanah hidup manusia yang secara langsung maupun tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sulit dibayangkan seandainya pengetahuan tidak ada dalam kehidupan manusia, sebab pengetahuan merupakan jawaban setiap permasalahan dan problematika hidup. Pada akhirnya dalam hidup ini ternyata manusia tidak dapat melepaskan diri dari aktifitas berfikir untuk mengetahui berbagai hal dalam kehidupan.
Tahu dan pengetahuan adalah dua kata yang memiliki arti yang berbeda. “Saya tahu benda itu adalah laptop”, tentu memiliki muatan makna yang berbeda dengan pernyataan, “Saya bisa merakit dan mengoperasikan laptop itu dengan sangat baik”. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa “pengetahuan” memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan hanya sekedar “tahu”, karena pengetahuan –dalam bahasa ushul fiqh- melibatkan aktifitas  ijtihad, istimbath, dan pada akhirnya melahirkan produk hukum seperti halal, haram, nadab dan sebagainya.  

Dalam wilayah filsafat, hakikat “pengetahuan” tentu juga memiliki perbedaan dengan hakikat “pengetahuan” dalam kajian agama. Karena hakikat “pengetahuan” dalam wilayah filsafat membatasi diri pada pengkajian objek empiris yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki wilayah penjelajahan yang bersifat transendental yang berada diluar pengalaman manusia.[1] Contoh sederhananya adalah ketika muncul pertanyaan, “Apakah ada kehidupan setelah kematian? Apakah yang terjadi setelah manusia mati? Bisakah anda menggambarkan sosok Tuhan?”, filsafat tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut karena masalah kehidupan setelah mati bukan wilayah kajian filsafat, kalaupun bisa hasilnya adalah pengetahuan ilusi/ khayal yang diperoleh dengan cara penemuan secara kebetulan maupun untung-untungan (trial and error).
Kenapa makalah ini menggunakan judul “hakikat pengetahuan dalam kajian agama dan hakikat pengetahuan dalam kajian filsafat?”, karena ada sebagian orang yang membedakan keduanya. Pertanyaan dan jawaban tentang Tuhan dan hal yang sifatnya ghaib (sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh indra) bukan disebut pengetahuan, akan tetapi hanyalah doktrin agama semata.[2] Jika memang demikian, lalu seperti apakah hakikat “pengetahuan” dalam kacamata agama? Atau, apakah hanya pengetahuan terhadap objek yang bersifat indrawi saja yang bisa dikatakan sebagai “pengetahuan”?
Kajian dalam makalah singkat ini tidak hendak menajamkan perbedaan antara keduanya, namun berupaya untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang hakikat sebuah “pengetahuan”. Sebab, penulis meyakini diantara keduanya memiliki keterkaitan yang erat, yaitu dengan melihat keterkaitan antara alam dan Tuhan. Kajian ini juga menjadi sangat penting karena perbedaan pemahaman tentang “pengetahuan” dari kacamata agama dan juga filsafat, telah memunculkan dua aliran epistimologi -islam dan sekuler- yang telah mempengaruhi worldview (pandangan hidup) manusia.   

B.      Pengertian “Tahu” dan “Pengetahuan”
Ada beberapa kata yang memiliki kemiripan arti satu dengan yang lainnya. Kata tersebut adalah ‘pengetahuan’ dalam bahasa indonesia, ‘al-ilmu’ dan ‘al-ma’rifah’ dalam bahasa arab, serta ‘knowledge’ dan ‘science’ dalam bahasa inggris. Oleh karena itu pembahasan tentang “pengetahuan” tidak akan lepas dari persoalan “ilmu”, “science”, “knowladge”, maupun “ma’rifah” yang pada akhirnya juga akan membahas tentang “kebenaran”.
Dalam kamus besar bahasa indonesia “tahu” memiliki arti mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dsb). Sedangkan I. R. Poejawijatna mendefinisikan “tahu” tidak sesederhana ungkapan, “saya tahu benda yang diatas meja itu adalah buku”, namun sesuatu yang nampak sederhana itu sebetulnya mengandung kesulitan, karena sekiranya orang menanyakan, bagaimana manusia itu dapat tahu, dari mana sumbernya, dan apakah tahu itu, maka kita tentu sulit menjawab pertanyaan itu. Kemudian dia mengartikan tentang tahu, ketika nampak empat gejala, yaitu : (1) manusia ingin tahu, (b) manusia ingin tahu yang benar, (c) objek tahu adalah yang ada dan yang mungkin ada, dan (d) manusia tahu, bahwa ia tahu.[3]
Adapun “pengetahuan” memiliki makna yang lebih radikal dibandingkan “tahu”, keduanya sama-sama melibatkan subjek (pihak yang mengetahui) dan objek (hal yang diketahui). Namun, pengetahuan bukan hanya penyatuan antara subjek dan objek, akan tetapi pengetahuan merupakan integrasi keduanya yang bersifat mendalam. Artinya, pengetahuan adalah segenap pengetahuan kita tentang suatu objek tertentu -termasuk kedalamnya adalah ilmu- [4] dan dari pengetahuan itu kita bisa membuat sebuah keputusan.[5] Kemudian Harun Nasution juga memberikan penjelasan bahwa pengetahuan pada hakikatnya adalah keadaan mental (mental state), artinya, mengetahui sesuatu ialah menyusun pendapat tetang sesuatu itu; dengan kata lain menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada diluar akal.[6]
Pemahaman makna pengetahuan yang didasarkan pada pendapat diatas ternyata memunculkan berbagai pertanyaan yang pada akhirnya menimbulkan wacana perdebatan dari ahli filsafat. Misalnya muncul pertanyaan, bagaimanakah hubungan antara objek dan subjek? Apakah subjek dan objek itu bersifat materiil ataukah immaterial (spiritual)? Kamudian apakah pengetahuan bersifat subjektif ataukah objektif? Bagaimanakah pengetahuan itu diperolah, apakah dengan induksi ataukah dengan deduksi? Lalu apakah ukuran atau kriteria kebenaran pengetahuan?[7]
Dari berbagai pertanyaan yang muncul itulah kemudian berkembang teori-teori pengetahuan yang mencoba menganalisis sebuah objek menjadi pengetahuan. Epistemologi tersebut termanifestasikan dalam berbagai aliran seperti rasionalisme, empirisisme, skeptisisme, agnotisisme, positivisme, objektifisme, subjektifisme dan relativisme.
Secara umum, Harun Nasution menuliskan ada dua teori mengenai hakikat pengetahuan.
Pertama; realisme, paham ini mempunyai pandangan yang realistis terhadap dunia. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran, atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta, atau dari hakikat). Realisme berpendapat bahwa peengetahuan adalah benar dan tepat, sesuai dengan kenyataan.
Kedua; idealisme, teori ini berpendapat bahwa mempunyai gambaran yang benar-benar tepat dan sesui dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental, atau proses psikologis, dan ini bisa bersifat subjektif. Oleh karena itu pengetahuan dari seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan objektif tentang kenyataan.[8] 
Kemudian bagaimana dengan pengetahuan menurut kacamata agama (Islam khususnya)? ada prinsip dasar yang menjadi pondasi pengetahuan dalam islam, seperti makna yang termuat dalam kalimat :  
-         لا إله إلا الله      - لا إله = النفي
-  إلا الله = الإثبات
Dalam syahadat, terdapat tindakan penafian/ penolakan dan sekaligus penetapan/ penegasan. Hal itu pula lah yang harus terjadi dalam proses pengilmuan. Ada bagian pengetahuan yang harus ditolak, begitu pula ada yang harus ditegaskan tanpa boleh diragukan.[9]
Kemudian muncul beberapa makna pengetahuan (ilmu) dari beberapa ulama’, diantaranya :
1.    Mengetahui sesuatu sebagaimana ia padanya. (dari kalangan ahli ushul)
2.    Sampainya makna kepada jiwa atau tercapainya jiwa kepada makna. (Naquib al-Attas)
3.    Para filosof muslim mendefinisikan pengetahuan (ma’rifah) sebagai proyeksi yang dilakukan oleh jiwa terhadap bentuk alam sehingga terwujud gambaran seperti aslinya.[10]
Paparan diatas sudah memberikan gambaran yang cukup jelas tentang perbedaan antara “pengetahuan” dalam kajian filsafat dan “pengetahuan” dalam kajian agama, hal ini bisa dilihat dari perbedaan objek yang dikaji dari keduanya. Filsafat mengkaji objek realitas empiris non metafisis, sedangkan agama bukan hanya realitas empiris tapi juga ‘Ālam al-Mulk.
Ada perbedaan mendasar cara memperoleh pengetahuan dari keduanya, kajian filsafat menghedaki “meragukan” terlebih dahulu terhadap sebuah objek yang “ada”, sedangkan agama menghendaki “keimanan” terhadap “objek” tertentu. Misalkan adalah pengetahuan tentang Tuhan, agama menghendaki untuk mengimaninya terlebih dahulu baru memahami “objek lain” yang mendukung terhadap “objek tunggal” yang kita imani, barulah kita memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Filsafat tidak akan mampu memahami pengetahuan tentang Tuhan, karena filsafat menghendaki untuk “ragu”, maka mereka juga akan meragukan –bahkan tidak percaya- terhadap “objek lain” yang datang dari “objek tunggal”, sehingga ahli filsafat tidak akan bisa menemukan pengetahuan tentang Tuhan.
Keduanya juga memiliki asas yang berbeda, asas epistemologi Islam adalah pandangan hidup berdasarkan wahyu, hadits, akal, pengalaman, dan intuisi. Berbeda dengan epistemologi filsafat yang hanya berpijak pada rasio dan spekulasi filsafat semata. Sehingga perbedaan pemahaman itu melahirkan sifat pengetahuan yang berbeda pula. Pengetahuan menurut agama bersifat rasional, metafisis, dan supra-rasional, ada yang permanen ada yang berubah. Sedangkan filsafat melahirkan pengetahuan yang rasional, non-metafisis, terbuka & selalu berubah.[11]  

C.     Jenis Pengetahuan
Setidaknya ada 4 jenis pengetahuan yang bisa saya paparkan dalam makalah ini :
1.      Pengetahuan Spontan (Common Sense)
Pengetahuan spontan adalah pengetahuan yang dihasilkan dari interaksi manusia dengan lingkungannya baik sosial, budaya maupun selainnya. Pengetahuan spontan juga bisa diartikan sebagai pengetahuan biasa, yaitu sebuah pengetahuan dimana semua orang sampai pada kenyakinan secara umum tentang sesuatu, di mana mereka akan berpendapat sama. Misalkan, “air ini panas”, maka semua orang bisa sampai pada pengetahuan itu karena memang air yang dimaksud memang benar-benar panas.
2.      Pengetahuan Sistematis – Reflektif
Pengetahuan sistematis – reflektif merupakan pengetahuan yang kompleks karena merupakan kesatuan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu dalam konteks sistematis – reflektif merupakan “alat” untuk memahami berbagai realita sejauh dapat ditangkap oleh akal dan berdasarkan pengamatan inderawi. Pengetahuan ini memiliki ciri khusus yakni memiliki objek kajian, metode kajian, disusun secara sistematis, dan bersifat universal.
3.      Pengetahuan Agama
Pengetahuan agama adalah pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya.[12] Namun menurut Harun Nasution, pengetahuan agama bukan melulu berdasarkan wahyu, sama halnya dengan pengetahuan ilmiah, pengetahuan agama juga diperoleh dengan mempergunakan bukti-bukti historis, argumen rasional, dan pengalaman pribadi.[13]
4.      Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.




D.     Sumber Pengetahuan
Pada sub bab ini penulis mencoba memaparkan sumber-sumber pengetahuan agama dan filsafat, dan secara sangat ringkas akan penulis sampaikan dalam penjelasan dibawah ini:
1.      Sumber pengetahuan filsafat adalah :
a.      Otoritas
Otoritas adalah kewenangan yang dimiliki oleh orang tertentu yang dianggap memiliki pengetahuan terhadap sesuatu. Karena pengetahuan yang didapat dari orang yang memiliki otoritas di bidangnya, pengetahuan itu mengandung makna yang mendalam. 
b.      Persepsi indrawi
Indra merupakan alat yang menjadi sebab atau perantara untuk memperoleh pengetahuan. Sesuatu yang bisa didengar, dicium, diraba, dan dicicipi, merupakan proses pembentukan pengalaman kongkret dan akhirnya membangun pengetahuan. Dari sumber inilah kemudian muncul teori “Empirisme”, dimana pengetahuan diperoleh dengan perantaraan pancaindra.
c.      Akal
Tidak bisa disangkal bahwa akal merupakan faktor penting sebagai sumber pengetahuan. Akal memiliki kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran dengan diri sendiri, dan pengetahuan itu diperoleh dengan membandingkan ide dengan ide. Dalam agama, akal memiliki peran vital untuk memahami wahyu, tanpa akal wahyu hanya akan menjadi teks yang mati. Oleh karena itu, banyak sekali teks-teks wahyu yang sangat menghargai orang yang berakal. Dari sumber ini kemudian juga memunculkan teori “Rasionalisme”, yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan diperoleh dengan perantara akal. Akal memang terlebih dahulu menangkap objek/ data dari pancaindra, namun akallah yang mengolah data yang satu dengan data yang lainnya, sehingga hadirlah yang disebut dengan pengetahuan.

d.     Intuisi/ ilham
Intuisi merupakan sumber pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam diri seseorang tanpa melalui proses pemikiran secara sadar dan persepsi langsung.
2.      Sumber pengetahuan agama tidak jauh berbeda dengan sumber pengetahuan filsafat. Akan tetapi pengetahuan agama mengharuskan sumber pengetahuan itu berasal dari Khabar yang Benar ( الخبر الصادق ), artinya otoritas pengetahuan agama –terutama islam- adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Pendapat orang terpercaya.
  
E.      Pergulatan Antara Epistemologi Islam dengan Epistemologi Barat
Dalam pendahuluan sudah penulis singgung bahwa pemahaman tentang “pengetahuan” dari kacamata agama dan filsafat, telah memunculkan dua aliran epistimologi besar, yaitu Islam dan Sekuler. Dua konsep itu pada akhirnya juga mempengaruhi worldview (pandangan hidup) manusia, yaitu pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Barat.
Sejak runtuhnya dinasi ‘Ustmaniyyah terhadap Vienna pada tahun 1683,[14] tidak hanya menandai runtuhnya superioritas militer islam pada waktu itu yang sangat ditakuti oleh musuh, tetapi juga menandai pudarnya kebanggaan dan rasa percaya diri terhadap supremasi peradaban Islam. Seiring perjalanan waktu umat islam terus mengalami kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan. Pada saat itulah muncul reformis Islam yang menggaungkan semangat kembali kepada kejayaan Islam.
Sebagian dari para reformis berpendapat bahwa, kemunduran umat islam disebabkan karena umat islam lemah dalam hal sains dan tegnologi. Berlatar belakang pemahaman itu akhirnya mereka menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan interpretasi ulang terhadap doktrin agama secara intelektual supaya umat bisa mengakomodasikan perkembangan-perkembangan baru dibarat. Mulai dari sinilah worldview barat mulai masuk dalam konsepsi ilmu Islam.
Benturan dua kekuatan itu kian hari kian terasa efeknya, berbagai macam klaim kebenaran mulai menyeruak kepermukaan, sehingga yang harus kita lakukan adalah bagaimana cara kita untuk menyikapi dua tantangan itu sehingga kita bisa berjalan sesuai pandangan keilmuan yang lebih cocok dengan system nilai dan kepercayaan yang religious. Karena dua wordview tersebut memiliki dampak yang besar terhadap perilaku kita dalam hidup bermasyarakat. Sebagai seorang muslim, paham diatas akan membawa kita pada pemahaman keagamaan yang sesuai dengan ruh islam yang otentis dan al haqq wa al haqiiqah, ataupun sesuai dengan ruh filsafat yang rasionalis, empiris, relative, dan selalu berubah. Wallahu a’lam bish showwab…

F.       Kesimpulan
Karena kajian ini adalah kajian comparative antara hakikat pengetahuan dalam kajian agama dan hakikat pengetahuan dalam kajian filsafat, maka kesimpulan yang bisa kami tarik dari pembahasan diatas adalah :
ISLAM
FILSAFAT
Asas:
Pandangan hidup Islam berdasarkan wahyu, hadith, akal, pengalaman, intuisi

Pendekatan: Tawhidi.

Sifat: rasional, metafisis, dan supra-rasional, ada yang permanen ada yang berubah.
Makna Realitas dan Kebenaran:
al-Haqq dan al-Haqiqah, berdimensi metafisik dan fisik, rasional.

Objek kajian: invisible & visible.
‘Ālam al-Mulk & ‘Ālam al-Syahādah
Asas:
Worldview Filsafat berdasarkan Rasio dan spekulasi filosofis.

Pendekatan: dikotomis

Sifat: rasional, non-metafisis, terbuka & selalu berubah.

Makna Realitas & Kebenaran:
Truth berdimensi sosial, kultural, empiris, rasional.


Objek Kajian:
Realitas empiris, non-metafisis


Demikian kesimpulan sementara dari penulis, mudah-mudahan dapat memberikan sekelumit pengetahuan tentang hakikat “tahu dan pengetahuan”.

Wallahua’lam wa huwa almusta’an.

DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003)

I. R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta : Bina Aksara, 1982)

Imam Al Ghozali, Tahafut Al Falasifah, (Bandung: Penerbit Marja, 2012)

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007)
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Nawuib Al-Attas, (Bandung : Mizan, 2003).
Makalah Ust. Yusuf A. Hasan, Pengertian dan Hakekat Pengetahuan, bahan ajar perkuliahan di PUTM, 2010 – 2011.
Slide, Anton Ismunanto dengan judul “Konsep Ilmu Dalam Islam”,

Makalah dari Adnin Armas (direktur ekskutif INSIST/ Anggota PP Muhammadiyah).

http://autonartist.wordpress.com/2012/07/28/pengetahuan-dalam-kajian-filsafat-menurut-burhanuddin-salam/



[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hal. 105 .
[2] Lihat penjelasan Jujun S. Suriasumantri dalam “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer” hal. 104-105. Dalam buku tersebut dia memberikan sebuah analogi bahwa pertanyaan tentang Tuhan dan sesuatu yang sifatnya ghaib bukan termasuk pengetahuan, namun lebih kepada doktrin agama.
[3] I. R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta : Bina Aksara, 1982), hal. 13.
[4] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hal. 104 .
[5] I. R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta : Bina Aksara, 1982), hal. 14.
[6] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003), hal. 7.
[7] Dikutip dari makalah Ust. Yusuf A. Hasan, Pengertian dan Hakekat Pengetahuan, bahan ajar perkuliahan di PUTM, 2010 – 2011, hal. 1
[8] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003), hal. 7-8.
[9] Dikutip dari slide Anton Ismunanto dengan judul “Konsep Ilmu Dalam Islam”, slide nomor 6.
[10] Imam Al Ghozali, Tahafut Al Falasifah, (Bandung: Penerbit Marja, 2012) , hal. 5.
[11] Makalah dari Adnin Armas (direktur ekskutif INSIST/ Anggota PP Muhammadiyah). Slide No. 19.
[12]http://autonartist.wordpress.com/2012/07/28/pengetahuan-dalam-kajian-filsafat-menurut-burhanuddin-salam/
[13] Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 2003), hal. 12.
[14] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Nawuib Al-Attas, (Bandung : Mizan, 2003), hal. 112.

2 komentar: