(Oleh : Dedik F Anwar)
A. Pendahuluan
Dalam interaksi kita
dengan masyarakat, seringkali muncul obrolan dan pertanyaan seputar kegiatan
berfilsafat yang menuntut kita untuk berfikir memberikan jawaban yang tepat. Baik
itu pertanyaan seputar kehidupan bermasyarakat, agama, maupun sains. Pertanyaan
yang sederhana, rumit, maupun pertanyaan yang membutuhkan daya pikir yang
radikal dan sistematis untuk menemukan jawabannya. Terkadang kita bisa
memberikan jawaban yang memuaskan, tapi tidak jarang pula kita tidak mengetahui
jawaban yang dikehendaki si penanya. Jawaban yang mendalam terhadap sebuah
objek yang ditanyakan itulah yang dinamakan pengetahuan.
Pengetahuan merupakan
khasanah hidup manusia yang secara langsung maupun tidak langsung turut
memperkaya kehidupan kita. Sulit dibayangkan seandainya pengetahuan tidak ada
dalam kehidupan manusia, sebab pengetahuan merupakan jawaban setiap
permasalahan dan problematika hidup. Pada akhirnya dalam hidup ini ternyata
manusia tidak dapat melepaskan diri dari aktifitas berfikir untuk mengetahui
berbagai hal dalam kehidupan.
Tahu dan pengetahuan
adalah dua kata yang memiliki arti yang berbeda. “Saya tahu benda itu adalah
laptop”, tentu memiliki muatan makna yang berbeda dengan pernyataan, “Saya bisa
merakit dan mengoperasikan laptop itu dengan sangat baik”. Secara sederhana
bisa dikatakan bahwa “pengetahuan” memiliki makna yang lebih mendalam
dibandingkan hanya sekedar “tahu”, karena pengetahuan –dalam bahasa ushul fiqh-
melibatkan aktifitas ijtihad, istimbath,
dan pada akhirnya melahirkan produk hukum seperti halal, haram, nadab dan
sebagainya.
Dalam wilayah filsafat,
hakikat “pengetahuan” tentu juga memiliki perbedaan dengan hakikat
“pengetahuan” dalam kajian agama. Karena hakikat “pengetahuan” dalam wilayah
filsafat membatasi diri pada pengkajian objek empiris yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki wilayah penjelajahan yang bersifat
transendental yang berada diluar pengalaman manusia.[1]
Contoh sederhananya adalah ketika muncul pertanyaan, “Apakah ada kehidupan
setelah kematian? Apakah yang terjadi setelah manusia mati? Bisakah anda
menggambarkan sosok Tuhan?”, filsafat tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut
karena masalah kehidupan setelah mati bukan wilayah kajian filsafat, kalaupun
bisa hasilnya adalah pengetahuan ilusi/ khayal yang diperoleh dengan cara
penemuan secara kebetulan maupun untung-untungan (trial and error).
Kenapa makalah ini
menggunakan judul “hakikat pengetahuan dalam kajian agama dan hakikat
pengetahuan dalam kajian filsafat?”, karena ada sebagian orang yang membedakan
keduanya. Pertanyaan dan jawaban tentang Tuhan dan hal yang sifatnya ghaib
(sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh indra) bukan disebut pengetahuan, akan
tetapi hanyalah doktrin agama semata.[2] Jika
memang demikian, lalu seperti apakah hakikat “pengetahuan” dalam kacamata
agama? Atau, apakah hanya pengetahuan terhadap objek yang bersifat indrawi saja
yang bisa dikatakan sebagai “pengetahuan”?
Kajian dalam makalah
singkat ini tidak hendak menajamkan perbedaan antara keduanya, namun berupaya
untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang hakikat sebuah “pengetahuan”.
Sebab, penulis meyakini diantara keduanya memiliki keterkaitan yang erat, yaitu
dengan melihat keterkaitan antara alam dan Tuhan. Kajian ini juga menjadi
sangat penting karena perbedaan pemahaman tentang “pengetahuan” dari kacamata
agama dan juga filsafat, telah memunculkan dua aliran epistimologi -islam dan
sekuler- yang telah mempengaruhi worldview (pandangan hidup) manusia.
B. Pengertian “Tahu” dan “Pengetahuan”
Ada
beberapa kata yang memiliki kemiripan arti satu dengan yang lainnya. Kata
tersebut adalah ‘pengetahuan’ dalam bahasa indonesia, ‘al-ilmu’ dan
‘al-ma’rifah’ dalam bahasa arab, serta ‘knowledge’ dan ‘science’ dalam bahasa
inggris. Oleh karena itu pembahasan tentang “pengetahuan” tidak akan lepas dari
persoalan “ilmu”, “science”, “knowladge”, maupun “ma’rifah” yang pada akhirnya
juga akan membahas tentang “kebenaran”.
Dalam kamus besar bahasa
indonesia “tahu” memiliki arti mengerti
sesudah
melihat (menyaksikan,
mengalami,
dsb). Sedangkan I. R. Poejawijatna mendefinisikan “tahu” tidak sesederhana
ungkapan, “saya tahu benda yang diatas meja itu adalah buku”, namun sesuatu
yang nampak sederhana itu sebetulnya mengandung kesulitan, karena sekiranya
orang menanyakan, bagaimana manusia itu dapat tahu, dari mana sumbernya, dan
apakah tahu itu, maka kita tentu sulit menjawab pertanyaan itu. Kemudian dia
mengartikan tentang tahu, ketika nampak empat gejala, yaitu : (1) manusia ingin
tahu, (b) manusia ingin tahu yang benar, (c) objek tahu adalah yang ada dan
yang mungkin ada, dan (d) manusia tahu, bahwa ia tahu.[3]
Adapun “pengetahuan”
memiliki makna yang lebih radikal dibandingkan “tahu”, keduanya sama-sama
melibatkan subjek (pihak yang mengetahui) dan objek (hal yang diketahui). Namun,
pengetahuan bukan hanya penyatuan antara subjek dan objek, akan tetapi
pengetahuan merupakan integrasi keduanya yang bersifat mendalam. Artinya,
pengetahuan adalah segenap pengetahuan kita tentang suatu objek tertentu -termasuk
kedalamnya adalah ilmu- [4]
dan dari pengetahuan itu kita bisa membuat sebuah keputusan.[5] Kemudian
Harun Nasution juga memberikan penjelasan bahwa pengetahuan pada hakikatnya
adalah keadaan mental (mental state), artinya, mengetahui sesuatu ialah
menyusun pendapat tetang sesuatu itu; dengan kata lain menyusun gambaran dalam
akal tentang fakta yang ada diluar akal.[6]
Pemahaman makna
pengetahuan yang didasarkan pada pendapat diatas ternyata memunculkan berbagai
pertanyaan yang pada akhirnya menimbulkan wacana perdebatan dari ahli filsafat.
Misalnya muncul pertanyaan, bagaimanakah hubungan antara objek dan subjek?
Apakah subjek dan objek itu bersifat materiil ataukah immaterial (spiritual)?
Kamudian apakah
pengetahuan bersifat subjektif ataukah objektif? Bagaimanakah pengetahuan itu
diperolah, apakah dengan induksi ataukah dengan deduksi? Lalu apakah ukuran
atau kriteria kebenaran pengetahuan?[7]
Dari berbagai pertanyaan
yang muncul itulah kemudian berkembang teori-teori pengetahuan yang mencoba
menganalisis sebuah objek menjadi pengetahuan. Epistemologi tersebut
termanifestasikan dalam berbagai aliran seperti rasionalisme, empirisisme,
skeptisisme, agnotisisme, positivisme, objektifisme, subjektifisme dan
relativisme.
Secara umum, Harun
Nasution menuliskan ada dua teori mengenai hakikat pengetahuan.
Pertama;
realisme, paham ini mempunyai pandangan yang realistis terhadap dunia.
Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran, atau kopi yang sebenarnya dari
apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta, atau dari hakikat). Realisme berpendapat bahwa
peengetahuan adalah benar dan tepat, sesuai dengan kenyataan.
Kedua; idealisme,
teori ini berpendapat bahwa mempunyai gambaran yang benar-benar tepat dan sesui
dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental, atau proses
psikologis, dan ini bisa bersifat subjektif. Oleh karena itu pengetahuan dari
seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan objektif tentang
kenyataan.[8]
Kemudian bagaimana
dengan pengetahuan menurut kacamata agama (Islam khususnya)? ada prinsip dasar yang menjadi pondasi
pengetahuan dalam islam, seperti makna yang termuat dalam kalimat :
-
لا
إله
إلا
الله -
لا
إله
=
النفي
- إلا
الله
= الإثبات
Dalam syahadat,
terdapat tindakan penafian/ penolakan
dan sekaligus penetapan/ penegasan.
Hal itu pula lah yang harus terjadi dalam proses pengilmuan. Ada bagian
pengetahuan yang harus ditolak, begitu pula ada yang harus ditegaskan tanpa
boleh diragukan.[9]
Kemudian muncul beberapa makna pengetahuan
(ilmu) dari beberapa ulama’, diantaranya :
1. Mengetahui sesuatu sebagaimana ia padanya. (dari kalangan ahli ushul)
2. Sampainya makna kepada jiwa
atau tercapainya jiwa
kepada makna. (Naquib al-Attas)
3.
Para filosof muslim
mendefinisikan pengetahuan (ma’rifah) sebagai proyeksi yang dilakukan oleh jiwa
terhadap bentuk alam sehingga terwujud gambaran seperti aslinya.[10]
Paparan diatas sudah memberikan gambaran yang
cukup jelas tentang perbedaan antara “pengetahuan” dalam kajian filsafat dan
“pengetahuan” dalam kajian agama, hal ini bisa dilihat dari perbedaan objek
yang dikaji dari keduanya. Filsafat mengkaji objek realitas empiris non
metafisis, sedangkan agama bukan hanya realitas empiris tapi juga ‘Ālam al-Mulk.
Ada perbedaan mendasar
cara memperoleh pengetahuan dari keduanya, kajian filsafat menghedaki
“meragukan” terlebih dahulu terhadap sebuah objek yang “ada”, sedangkan agama
menghendaki “keimanan” terhadap “objek” tertentu. Misalkan adalah pengetahuan
tentang Tuhan, agama menghendaki untuk mengimaninya terlebih dahulu baru
memahami “objek lain” yang mendukung terhadap “objek tunggal” yang kita imani,
barulah kita memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Filsafat tidak akan mampu
memahami pengetahuan tentang Tuhan, karena filsafat menghendaki untuk “ragu”,
maka mereka juga akan meragukan –bahkan tidak percaya- terhadap “objek lain”
yang datang dari “objek tunggal”, sehingga ahli filsafat tidak akan bisa
menemukan pengetahuan tentang Tuhan.
Keduanya juga
memiliki asas yang berbeda, asas epistemologi Islam adalah pandangan hidup berdasarkan
wahyu, hadits, akal, pengalaman, dan intuisi. Berbeda dengan epistemologi
filsafat yang hanya berpijak pada rasio dan spekulasi filsafat semata. Sehingga
perbedaan pemahaman itu melahirkan sifat pengetahuan yang berbeda pula.
Pengetahuan menurut agama bersifat rasional, metafisis, dan supra-rasional, ada yang permanen ada yang berubah.
Sedangkan filsafat melahirkan pengetahuan yang rasional, non-metafisis, terbuka & selalu
berubah.[11]
C. Jenis Pengetahuan
Setidaknya ada 4 jenis
pengetahuan yang bisa saya paparkan dalam makalah ini :
1. Pengetahuan Spontan (Common Sense)
Pengetahuan spontan
adalah pengetahuan yang dihasilkan dari interaksi manusia dengan lingkungannya
baik sosial, budaya maupun selainnya. Pengetahuan spontan juga bisa diartikan sebagai
pengetahuan biasa, yaitu sebuah pengetahuan dimana semua orang sampai pada
kenyakinan secara umum tentang sesuatu, di mana mereka akan berpendapat sama.
Misalkan, “air ini panas”, maka semua orang bisa sampai pada pengetahuan itu
karena memang air yang dimaksud memang benar-benar panas.
2. Pengetahuan Sistematis – Reflektif
Pengetahuan sistematis
– reflektif merupakan pengetahuan yang kompleks karena merupakan kesatuan dari
ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu dalam konteks sistematis – reflektif
merupakan “alat” untuk memahami berbagai realita sejauh dapat ditangkap oleh
akal dan berdasarkan pengamatan inderawi. Pengetahuan ini memiliki ciri khusus
yakni memiliki objek kajian, metode kajian, disusun secara sistematis, dan
bersifat universal.
3. Pengetahuan Agama
Pengetahuan agama
adalah pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya.[12]
Namun menurut Harun Nasution, pengetahuan agama bukan melulu berdasarkan wahyu,
sama halnya dengan pengetahuan ilmiah, pengetahuan agama juga diperoleh dengan
mempergunakan bukti-bukti historis, argumen rasional, dan pengalaman pribadi.[13]
4. Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat
yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan
spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan
kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan
yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam.
Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga
ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
D. Sumber Pengetahuan
Pada sub bab ini penulis
mencoba memaparkan sumber-sumber pengetahuan agama dan filsafat, dan secara
sangat ringkas akan penulis sampaikan dalam penjelasan dibawah ini:
1. Sumber pengetahuan filsafat adalah :
a. Otoritas
Otoritas adalah kewenangan yang dimiliki
oleh orang tertentu yang dianggap memiliki pengetahuan terhadap sesuatu. Karena
pengetahuan yang didapat dari orang yang memiliki otoritas di bidangnya,
pengetahuan itu mengandung makna yang mendalam.
b. Persepsi indrawi
Indra merupakan alat yang menjadi sebab
atau perantara untuk memperoleh pengetahuan. Sesuatu yang bisa didengar,
dicium, diraba, dan dicicipi, merupakan proses pembentukan pengalaman kongkret
dan akhirnya membangun pengetahuan. Dari sumber inilah kemudian muncul teori “Empirisme”,
dimana pengetahuan diperoleh dengan perantaraan pancaindra.
c. Akal
Tidak bisa disangkal bahwa akal merupakan
faktor penting sebagai sumber pengetahuan. Akal memiliki kemampuan untuk
mengungkapkan kebenaran dengan diri sendiri, dan pengetahuan itu diperoleh
dengan membandingkan ide dengan ide. Dalam agama, akal memiliki peran vital
untuk memahami wahyu, tanpa akal wahyu hanya akan menjadi teks yang mati. Oleh
karena itu, banyak sekali teks-teks wahyu yang sangat menghargai orang yang
berakal. Dari sumber ini kemudian juga memunculkan teori “Rasionalisme”,
yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan diperoleh dengan perantara akal. Akal
memang terlebih dahulu menangkap objek/ data dari pancaindra, namun akallah
yang mengolah data yang satu dengan data yang lainnya, sehingga hadirlah yang
disebut dengan pengetahuan.
d. Intuisi/ ilham
Intuisi merupakan sumber pengetahuan yang
diperoleh secara langsung dalam diri seseorang tanpa melalui proses pemikiran
secara sadar dan persepsi langsung.
2. Sumber pengetahuan agama tidak jauh berbeda dengan sumber
pengetahuan filsafat. Akan tetapi pengetahuan agama mengharuskan sumber
pengetahuan itu berasal dari Khabar yang Benar (
الخبر الصادق
),
artinya otoritas pengetahuan agama
–terutama islam- adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Pendapat orang
terpercaya.
E. Pergulatan Antara Epistemologi Islam dengan Epistemologi
Barat
Dalam pendahuluan sudah
penulis singgung bahwa pemahaman tentang “pengetahuan” dari kacamata agama dan filsafat, telah memunculkan dua aliran
epistimologi besar, yaitu Islam dan Sekuler. Dua konsep itu pada akhirnya juga mempengaruhi worldview
(pandangan hidup) manusia,
yaitu pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Barat.
Sejak runtuhnya dinasi
‘Ustmaniyyah terhadap Vienna pada tahun 1683,[14]
tidak hanya menandai runtuhnya superioritas militer islam pada waktu itu yang
sangat ditakuti oleh musuh, tetapi juga menandai pudarnya kebanggaan dan rasa percaya
diri terhadap supremasi peradaban Islam. Seiring perjalanan waktu umat islam
terus mengalami kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan. Pada saat itulah
muncul reformis Islam yang menggaungkan semangat kembali kepada kejayaan Islam.
Sebagian dari para
reformis berpendapat bahwa, kemunduran umat islam disebabkan karena umat islam
lemah dalam hal sains dan tegnologi. Berlatar belakang pemahaman itu akhirnya
mereka menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan interpretasi ulang terhadap
doktrin agama secara intelektual supaya umat bisa mengakomodasikan
perkembangan-perkembangan baru dibarat. Mulai dari sinilah worldview barat
mulai masuk dalam konsepsi ilmu Islam.
Benturan dua kekuatan
itu kian hari kian terasa efeknya, berbagai macam klaim kebenaran mulai
menyeruak kepermukaan, sehingga yang harus kita lakukan adalah bagaimana cara
kita untuk menyikapi dua tantangan itu sehingga kita bisa berjalan sesuai
pandangan keilmuan yang lebih cocok dengan system nilai dan kepercayaan yang
religious. Karena dua
wordview tersebut memiliki dampak yang besar terhadap perilaku kita dalam
hidup bermasyarakat. Sebagai seorang muslim, paham diatas akan membawa kita
pada pemahaman keagamaan yang sesuai dengan ruh islam yang otentis dan al haqq
wa al haqiiqah, ataupun sesuai dengan ruh filsafat yang rasionalis, empiris,
relative, dan selalu berubah. Wallahu a’lam bish showwab…
F. Kesimpulan
Karena kajian ini adalah kajian comparative
antara hakikat pengetahuan dalam kajian agama dan hakikat pengetahuan dalam
kajian filsafat, maka kesimpulan yang bisa kami tarik dari pembahasan diatas
adalah :
ISLAM
|
FILSAFAT
|
Asas:
Pandangan hidup Islam berdasarkan
wahyu, hadith, akal, pengalaman, intuisi
Pendekatan: Tawhidi.
Sifat: rasional, metafisis, dan supra-rasional, ada
yang permanen ada yang berubah.
Makna Realitas dan Kebenaran:
al-Haqq dan al-Haqiqah, berdimensi metafisik dan fisik,
rasional.
Objek kajian: invisible & visible.
‘Ālam al-Mulk & ‘Ālam
al-Syahādah
|
Asas:
Worldview Filsafat berdasarkan Rasio dan
spekulasi filosofis.
Pendekatan: dikotomis
Sifat: rasional, non-metafisis, terbuka &
selalu berubah.
Makna Realitas & Kebenaran:
Truth berdimensi sosial, kultural, empiris,
rasional.
Objek Kajian:
Realitas empiris, non-metafisis
|
Demikian kesimpulan sementara dari penulis, mudah-mudahan dapat
memberikan sekelumit pengetahuan tentang hakikat “tahu dan pengetahuan”.
Wallahua’lam wa huwa almusta’an.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 2003)
I. R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan Pengantar
ke Ilmu dan Filsafat, (Jakarta : Bina Aksara, 1982)
Imam Al Ghozali, Tahafut Al Falasifah,
(Bandung: Penerbit Marja, 2012)
Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2007)
Wan Mohd
Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Nawuib Al-Attas,
(Bandung : Mizan, 2003).
Makalah
Ust. Yusuf A. Hasan, Pengertian dan Hakekat Pengetahuan, bahan ajar
perkuliahan di PUTM, 2010 – 2011.
Slide, Anton Ismunanto
dengan judul “Konsep Ilmu Dalam Islam”,
Makalah dari Adnin Armas (direktur ekskutif INSIST/
Anggota PP Muhammadiyah).
http://autonartist.wordpress.com/2012/07/28/pengetahuan-dalam-kajian-filsafat-menurut-burhanuddin-salam/
[2]
Lihat penjelasan Jujun S. Suriasumantri dalam “Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer” hal. 104-105. Dalam buku tersebut dia memberikan sebuah
analogi bahwa pertanyaan tentang Tuhan dan sesuatu yang sifatnya ghaib bukan
termasuk pengetahuan, namun lebih kepada doktrin agama.
[3] I.
R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat,
(Jakarta : Bina Aksara, 1982), hal. 13.
[5] I.
R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan Pengantar ke Ilmu dan Filsafat,
(Jakarta : Bina Aksara, 1982), hal. 14.
[6]
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003), hal.
7.
[7]
Dikutip dari makalah Ust. Yusuf A. Hasan, Pengertian dan Hakekat
Pengetahuan, bahan ajar perkuliahan di PUTM, 2010 – 2011, hal. 1
[8]
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003), hal.
7-8.
[9] Dikutip dari slide Anton Ismunanto
dengan judul “Konsep Ilmu Dalam Islam”, slide nomor 6.
[10]
Imam Al Ghozali, Tahafut Al Falasifah, (Bandung: Penerbit Marja, 2012) ,
hal. 5.
[11] Makalah
dari Adnin Armas (direktur ekskutif INSIST/ Anggota PP Muhammadiyah). Slide No.
19.
[12]http://autonartist.wordpress.com/2012/07/28/pengetahuan-dalam-kajian-filsafat-menurut-burhanuddin-salam/
[13]
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 2003), hal.
12.
[14]
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Nawuib
Al-Attas, (Bandung : Mizan, 2003), hal. 112.
ijin copy paste untuk tugas......terimakasih
BalasHapusthanks :)
BalasHapus