(Oleh : Prof. Syamsul
Anwar)
A. Latar
Belakang Masalah
Sekarang masalah konsumsi tembakau
kian menadapat perhatian yang terus meningkat. Hal itu disebabkan oleh karena
tembakau ditengarai sebagai produk berbahaya dan adiktif[1]
dan konsumsinya adalah salah satu penyebab kematian yang harus segera
ditanggulangi.
Masyarakat dunia kini bergerak ke
arah penanggulangan dampak tersebut. Ini ditunjukkan oleh telah
ditandatanganinya Framework Convention on Tobacco Control oleh lebih dari 150
negara (kecuali Indonesia). Pada tingkat nasioanal di Indonesia telah
diterbitkan Undang-Undang No. 36 Tentang Kesehatan. Di dalamnya antara lain
dinyatakan bahwa tembakau merupakan zat adiktif (bahan yang menimbulkan
kecanduan atau ketergantungan) [pasal 113 ayat (2)] dan ditetapkan pula kawasan
tanpa asap rokok yang meliputi (a) fasilitas pelayanan kesehatan, (b) tempat
proses belajar mengajar, (c) tempat anak bermain, (d) tempat ibadah, (e) angkutan
umum, (f) tempat kerja, dan (g) tempat umum dan tempat
lain yang ditetapkan. Dalam undang-undang itu ditetapkan denda
bagi pelanggarnya (yaitu maksimun Rp. 50.000.000) [pasal 115 dan 197].
Seiring
dengan perhatian yang terus meningkat terhadap masalah pengendalian tembakau di
berbagai belahan dunia saat ini, maka peran serta agama dan para pemukanya
perlu dimaksimalkan karena upaya pengendalian tembakau itu bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari mudarat yang ditimbulkan konsumsi tembakau dan ini
sesuai dengan salah tujuan syariah, yaitu perlindungan yerhadap diri/jiwa
manusia. Melihat belum adanya keseragaman fatwa mengenai konsumsi tembakau dan
tercapainya kemajuan pesat dalam riset mengenai masalah ini, maka perlu
diadakan kajian untuk menerbitkan fatwa baru tentang masalah konsumsi tembakau.
B. Masalah
Konsumsi Tembakau
Tembakau adalah suatu produk yang
diproses dari daun pohon yang termasuk genus Nicotiana. Kata nicotiana,
dan nicotine, dihubungkan sebagai suatu kehormatan kepada Jean Nicot,
duta Perancis di Portugal, yang pada tahun 1559 mengirim tembakau ke istana
Caterine de Medici untuk menjadi obat. Tembakau dapat dikonsumsi, dan pohonnya
dapat digunakan untuk memperoleh sulfat nikotin yang digunakan dalam
insektisida dan untuk memperoleh nicotine tartrate yang digunakan dalam
beberapa obat.[2]
Akan tetapi penggunaan untuk konsumsi dalam bentuk rokok merupakan 98 % dari
pemanfaatan produk tembakau.[3]
Konsumsi tembakau dikatakan dikenal
pertama kali di kawasan Amerika di kalangan bangsa Indian. Kemudian
diintrodusir ke Eropah pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol memperkenalkan
tembakau kepada orang-orang Eropa pada tahun 1518.[4]
Pada tahun 1556 Andre Thevet membawa benih tembakau dari Brazil ke Perancis.
Pada tahun 1559, seperti di muka telah disinggung, duta Perancis di Lisabon,
sembari menjelaskan kegunaan tembakau sebagai obat, mengirimkannya ke istana
Perancis. Di Inggris, bibit tembakau diperkenalkan pada tahun 1565, tetapi
merokok belum berkembang sampai pertengahan tahun 1570-an ketika Sir Walter
Raleigh menjadikannya sebagai suatu gaya hidup di istana Inggris.[5]
Akan tetapi hal itu bukannya tanpa tantangan. King James I berusaha untuk
mengendalikan peredaran tembakau dan pada tahun 1603, ia mengeluarkan Counterblaste
to Tobacco.[6]
Di beberapa negara lain seperti Denmark, Swedia, Sisilia, Hongaria, pada abad
ke-17 dikeluarkan undang-undang untuk melarang merokok.[7]
Pada abad-abad berikutnya, walaupun
ada resistensi, perdagangan tembakau kian marak sejalan dengan kian
meningkatnya konsumsi tembakau. Hal ini seiring pula dengan berkembangnya suatu
upaya untuk mencitrakan merokok sebagai suatu
bentuk budaya baru yang melambangkan status sosial tinggi, tanda
intelektualitas, kelelakian dan keperkasaan. Keadaan ini terus
berlangsung hingga pada pertengahan abad ke-20 pada saat mana diakui bahwa sesungguhnya
rokok adalah penyebab utama dari berbagai penyakit.
Kini rokok
ditengarai sebagai produk berbahaya dan adiktif[8]
serta mengandung 4000 zat kimia, di mana 69 di antaranya adalah karsinogenik
(pencetus kanker).[9]
Beberapa zat berbahaya di dalam rokok tersebut di antaranya tar, sianida,
arsen, formalin, karbonmonoksida, dan nitrosamin.[10]
Kalangan medis dan para akademisi telah menyepakati bahwa konsumsi tembakau
adalah salah satu penyebab kematian yang harus segera ditanggulangi. Direktur
Jendral WHO, Dr. Margaret Chan, melaporkan bahwa epidemi tembakau telah
membunuh 5,4 juta orang pertahun lantaran kanker paru dan penyakit jantung
serta lain-lain penyalit yang diakibatkan oleh merokok. Itu berarti bahwa satu
kematian di dunia akibat rokok untuk setiap 5,8 detik. Apabila tindakan
pengendalian yang tepat tidak dilakukan, diperkirakan 8 juta orang akan
mengalami kematian setiap tahun akibat rokok menjelang tahun 2030.[11]
Selama abad ke-20, 100 juta orang meninggal karena rokok, dan selama abad ke-21
diestimasikan bahwa sekitar 1 milyar nyawa akan melayang akibat rokok.[12]
Dalam kaitan dengan kematian balita,
maka data dari studi tentang orang tua merokok pada 360 ribu rumah tangga
miskin di perkotaan dan pedesaan yang dilakukan di Indonesia tahun 2000-2003 menunjukkan
bahwa kematian balita di lingkungan orang tua merokok lebih tinggi dibandingkan
dengan orang tua tidak merokok baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kematian
balita dengan ayah perokok di perkotaan mencapai 8,1 % dan di pedesaan mencapai
10,9 % di pedesaan. Sementara kematian balita dengan ayah tidak merokok di
perkotaan 6,6 % dan di pedesaan 7,6 %.[13]
Resiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14 % di
perkotaan dan 24 % di pedesaan. Dengan kata lain, 1 dari 5 kematian balita
terkait dengan perilaku merokok orang tua. Dari angka kematian balita 162 ribu
per tahun (Unicef 2006), maka 32.400 kematian dikontribusi oleh perilaku
merokok orang tua.[14]
Perilaku merokok mempunyai kaitan
kuat dengan kemiskinan. Tiga dari rumah tangga empat keluarga di Indonesia
mempunyai pengeluaran untuk membeli rokok. Adalah suatu fakta bahwa keluarga
termiskin justeru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada kelompok
pendapatan terkaya. SUSENAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran keluarga termiskin
untuk membeli rokok mencapai 11,9 %, sementara keluarga terkaya pengeluaran
rokoknya hanya 6,8 %. Pengeluaran keluarga termiskin untuk rokok sebesar 11,9 %
itu menempati urutan kedua setelah pengeluaran untuk beras. Jumalah itu amat
jauh lebih besar dari untuk membeli makanan bergizi. Pengeluaran untuk rokok
itu 17 kali lipat pengeluaran untuk daging (0,7 %), 5 kali lipat pengeluaran
untuk telur dan susu (2,3 %), hampir 2 kali lipat pengeluaran untuk ikan (6,8
%). Dikaitkan dengan pengeluaran non konsumsi, maka jumlah 11,9 % biaya rokok
itu merupakan 15 kali lipat biaya pendidikan (0,8 %) dan 9 kali lipat biaya
kesehatan (1,3 %).[15]
Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok
pada keluarga miskin perokok menggeser kebutuhan makanan bergizi esensial bagi
pertumbuhan balita. Ini artinya balita harus memikul risiko kurang gizi demi
menyisihkan biaya untuk pembelian rokok yang beracun dan penyebab banyak
penyakit mematikan itu. Apa ini bukan suatu kezaliman bagi balita?
Dikaitkan dengan aspek sosial-ekonomi
tembakau, data menunjukkan bahwa peningkatan produksi rokok selama periode
1961-2001 sebanyak 7 kali lipat tidak sebanding dengan perluasan lahan tanaman
tembakau yang konstan bahkan cenderung menurun 0,8 % tahun 2005. Ini artinya
pemenuhan kebutuhan daun tembakau dilakukan melalui impor. Selisih nilai ekpor
daun tembakau dengan imponya selalu negatif sejak tahun 1993 hingga tahun 2005.[16]
Selama periode tahun 2001-2005, devisa terbuang untuk impor daun tembakau
rata-rata US$ 35 juta.[17]
Bagi petani tembakau yang menurut Deptan tahun 2005 berjumlah 684.000 orang,
pekerjaan ini tidak begitu menjanjikan karena beberapa faktor. Mereka umum
memilih pertanian tembakau karena faktor turun temurun. Tidak ada petani
tembakau yang murni; mereka mempunyai usaha lain atau menanam tanaman lain di
luar musim tembakau. Mereka tidak memiliki posisi tawar yang kuat menyangkut
harga tembakau. Kenaikan harga tembakau tiga tahun terakhir tidak membawa
dampak berarti kepada petani tembakau karena kenaikan itu diiringi dengan
kenaikan biaya produksi. Pendidikan para buruh tani rendah, 69 % hanya tamat SD
atau tidak bersekolah sama sekali, dan 58 % tinggal di rumah berlantai tanah.
Sedang petani pengelola 64 % berpendidikan SD atau tidak bersekolah sama sekali
dan 42 % masih tinggal di rumah berlantai tanah. Upah buruh tani tembakau di
bawa Upah Minimum Kabupaten (UMK): Kendal 68 % UMK, Bojonegoro 78 % UMK, dan
Lombok Timur 50 % UMK. Upah buruh tani tembakau termasuk yang terendah,
perbulan Rp. 94.562, separuh upah petani tebu dan 30 % dari rata-rata upah
nasional sebesar Rp. 287.716,- per bulan pada tahun tersebut. Oleh karena itu 2
dari 3 buruh tani tembakau menginginkan mencari pekerjaan lain, dan 64 % petani
pengelola menginginkan hal yang sama.[18]
Ini memerlukan upaya membantu petani pengelola dan buruh tani tembakau untuk
melakukan alih usaha dari sektor tembakau ke usaha lain.
Sejak tahun 2006 Departemen
Pertanian telah mempunyai program pengurangan areal tembakau dengan
menggantinga dengan komoditas lain seperti wijen, jarak kepyar dan kopi. Proyek
percontohan dilakukan di Magelang, Wonosobo dan Nusa Tenggara barat. Tahun
2008, desa Ketep (Magelang) telah mendiri.[19]
Peningkatan cukai tembakau di
Indonesia dalam kenyataannya masih rendah. Dalam rangka mereduksi jumlah
perokok, maka cukai tembakau perlu dimaksimalkan sampai batas yang dibenarkan
oleh undang-undang, sehingga dapat meningkatkan penerimaan pemerintah. Hasil
penerimaan itu dapat digunakan sebagiannya untuk membantu petani menciptakan
lapangan kerja baru dan membantu diversifikasi atau pun juga alih usaha para
petani tembakau.
C. Pandangan Fukaha tentang Rokok
Masalah tembakau dan rokok mulai direspons oleh
para fukaha sejak awal abad ke-11 H. Dalam buku-buku fikih dikatakan bahwa
tembakau dan rokok dimasukkan ke negeri-negeri Muslim pada tahun 1005 H (1596
M) dan sejak itu fukaha mulai merespons pemakaiannya dan penjualannya.[20] Respon
paling awal terhadap tembakau dan rokok yang dapat kita ketahui hingga saat ini
tampaknya terdapat dalam tulisan Ibr±h³m al-Laqq±n³ (w. 1041/1631) berjudul Na¡³¥at al-Ikhw±n bi Ijtin±b ad-Dukh±n [‘Nasihat untuk Handai Tolan Guna Menjauhi Rokok]
yang ditulisnya tahun 1025/1616 dalam mana ia menyatakan merokok adalah haram. Kebanyakan
respons awal terhadap rokok tampaknya lebih mengharamkan. Mu¥ammad Ibn ‘Allan
al-Makk³ (w. 1057/1647) menulis dua buah buku untuk menegaskan keharaman rokok.
Buku pertama berjudul I‘l±m
al-Ikhw±n bi Ta¥r³m at-Tunb±k [‘Pemberitahuan
kepada Kawan-kawan tentang Keharaman Tembakau’] dan buku kedua yang lebih
singkat berjudul Tauj³h
ªaw³ al-Idr±k bi ¦urmat Tan±wul at-Tunb±k [‘Petunjuk bagi Orang Berpikiran Waras tentang
Keharaman Menghisap Tembakau’].[21] Ulama
Hanafi al-¦a¡kaf³ (w. 1088/1677) menegaskan bahwa rokok (at-tutun) adalah haram berdasarkan hadis Ummu Salamah bahwa “Rasulullah
saw melarang yang memabukkan dan yang melemahkan tubuh.”[22] Tembakau
memiliki sifat melemahkan sehingga karena itu diharamkan.
Al-Makk³
(w. 1367/1948)[23] dalam tulisannya Tah©³b al-Furq mengatakan bahwa di dalam ¦±syiyah Ibn ¦amdn oleh Ibn ¦amdn (w. 1273/1857) dinyatakan bahwa
para ulama Islam di kawasan Barat dan kebanyakan ulama di kawasan Timur,
seperti Syaikh as-Sanhr³ dan muridnya Ibr±h³m al-Laqq±n³, menyatakan keharaman
penggunaan rokok.[24] Sejak
respons awal bergulir, kemudian ramai para fukaha memperbincangkan hukum rokok
dan tembakau dengan berbagai pendapat berbeda. Ar-Ra¥³b±n³ (w. 1243/1827)
menulis sebagai berikut,
Rokok muncul ke dunia Islam pada awal tahun 1000-an
H …. Ketika rokok mulai berkembang luas, beberapa ulama mengharamkannya,
sebagain lain memakruhkannya, beberapa menyatakan mubah, sementara ada pula
yang bersikap diam. Di kalangan mazhab yang empat, terdapat ulama-ulama yang
mengharamkan, memakruhkan, dan membolehkannya. Kebanyakan ulama Syafi‘iah dan
Hanafiah membolehkannya atau memakruhkannya, dan sebagian lain mengharamkannya.
Kebanyakan ulama Malikiah mengharamkannya dan sebagian saja yang memakruhkan.
Demikian juga sahabat-sahabat kami (mazhab Hanbali), terutama dari Najd.[25]
Di
luar mazhab empat para ulama juga berbeda pendapat. Ulama Syi’ah Mirza ¦asan
asy-Sy³r±z³ dari Iran pada awal abad ke-20 mengeluarkan fatwa keharaman merokok
dan konsumsi tembakau. Fatwa tersebut dipatuhi oleh masyarakat Iran sehingga
mereka berhenti menggunakan dan menanamnya, meskipun saat itu bahan tersebut
menjadi ekspor utama negerinya, seperti ekspor kapas di Mesir. Dampak dari
fatwa tersebut adalah bahwa Pemerintah Iran saat itu membatalkan hak monopoli
pengusahaan produksi tembakau di Iran yang dimiliki oleh sebuah maskapai
Inggris dengan membayar ganti rugi kepada perusahaan tersebut sebesar 500.000
pound sterling.[26]
Imam asy-Syauk±n³ (w. 1255/1839), seorang ulama
Zaidiah, yang amat populer di lingkungan
Mu¥ammadiyah menegaskan bahwa pohon yang oleh masyarakat disebut tembakau atau
tutun tidak terdapat dalil yang mengharamkannya dan tidak termasuk jenis yang
memabukkan atau beracun serta tidak menimbulkan bahaya (mudarat) baik secara
ukhrawi maupun duniawi. Barang siapa mengklaim keharamannya harus menunjukkan
dalil dan tidak cukup berdasarkan ‘katanya’.[27] Akan
tetapi Al-Mub±rakfr³ (w. 1353/1934), pensyarah Sunan at-Tirmi©³, mengoreksi pandangan asy-Syauk±n³ dengan
menyatakan bahwa mamang betul bahwa pada asasnya segala sesuatu itu boleh, akan
tetapi dengan syarat tidak menimbulkan bahaya (mudarat). Apabila menimbulkan
mudarat, maka sama sekali tidak dibolehkan. Asy-Syauk±ni tidak mengetahui
mudarat konsumsi tembakau dan rokok. Sesungguhnya amat jelas bahaya yang
ditimbulkannya. Jadi pernyataan asy-Syauk±n³ bahwa bahan itu tidak membahayakan
tidak benar. Menurut saya (al-Mub±rakfr³) bahayanya tidak diragukan, dan itu
menjadi alasan bahan tersebut tidak dibolehkan.[28]
Pada
masa kini kontroversi itu masih berlanjut. Akan tetapi fatwa kontemporer
tampaknya cenderung mengharamkan. Dalam buku ¦ukm ad-D³n f³ ‘²dat at-Tadkh³n [‘Hukum Agama tentang Kebiasaan Merokok’]
diuraikan secara panjang lebar bahaya dan mudarat yang ditimbulkan oleh
kebiasaan merokok baik secara medis maupun sosial. Buku tersebut menyayangkan
bahwa ada persepsi yang keliru tentang rokok. Yaitu anggapan bahwa merokok
merupakan suatu bentuk budaya baru yang berkemajuan, lambang dari status
sosial, intelektual, bahkan ada anggapan merokok merupakan tanda kelelakian dan
keperkasaan, kekuatan dan kelincahan serta jiwa muda. Bahkan perempuan pun
terhinggapi pula oleh pandangan keliru tersebut sehingga banyak pula di antara
mereka yang ikut-ikut merokok atas nama prestise, kemajuan, derajat sosial.
Mereka ini melupakan bahwa itu semua adalah anggapan sesat dan kebiasaan
membahayakan baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Bahkan merokok
merupakan suatu perbuatan bunuh diri secara perlahan dan jalan menuju
malapetaka. Pada hal Allah telah memperingatkan, “Jangan kamu menjatuhkan
dirimu ke dalam malapetaka” [Q 2: 195].[29]
Penulis
buku ¦ukm
ad-D³n f³ al-Li¥yah wa at-Takh³n menyatakan padangan
yang sama, yaitu bahwa merokok hukumnya adalah haram. Ia mengemukakan
dalil-dalil berupakan pernyataan bahwa rokok termasuk barang yang tidak baik (khab±’i£) yang tidak dihalalkan Allah, termasuk pemborosan
uang (tabzir), serta merupakan bahan berhaya yang membawa mudarat.[30] Fatwa
Bin B±z dengan tegas menyatakan rokok termasuk haram dengan alasan merupakan
barang yang banyak mengandung bahaya dan termasuk kategori al-khab±’i£ (barang buruk/kotor) yang dilarang di dalam
al-Quran.[31]
Mufti
Negara Republik Arab Mesir tanggal 25 Jumadal Ula 1420 (5 September 1999)
mengeluarkan fatwa tentang rokok yang menegaskan bahwa ilmu pada zaman sekarang
telah membuktikan bahwa rokok menimbulkan bahaya pada kesehatan baik perokok
maupun orang lain yang terkena paparan asap rokok. Rokok bertentangan dengan
firman Allah yang melarang perbuatan bunuh diri dan menjatuhkan diri ke dalam
kebinasaan. Atas dasar itu maka rokok dinyatakan haram berdasarkan semua
kriteria syariah.[32]
Kepala
Majlis Tinggi Fatwa Suriah (Mufti Umum Suriah), Dr. Badrudd³n ¦asn, tahun 2007
mengeluarkan fatwa yang sama (merokok haram). Dalam fatwanya setelah
menguraikan secara panjnag lebar zat-zat berbahaya yang terkandung dalam rokok
dan menjelaskan dampak buruknya terhadap kesehatan, ia menegaskan,
Bahaya berangsur sama haramnya dengan
bahaya seketika, seperti halnya racun yanag menimbulkan efek lambat sama
haramnya dengan racun yang berefek cepat, dan telah dimaklumi bahwa perbuatan
bunuh diri dengan kedua macamnya, secara perlahan dan seketika, adalah
diharamkan dan orang merokok melakukan bunuh diri secara perlahan. Oleh karena
itu kami memfatwakan bahwa merokok adalah haram. Fatwa-fatwa yang memakruhkan
atau memubahkan hanya sesuai dengan zaman lampau di mana belum banyak terungkap
bahaya merokok bagi kesehatan.
Dalil-dalil yang dikutip Mufti ¦asn
adalah:
1) Q. 2: 195, “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam
kebinasaan,”
2) Q. 4: 29, “Jangan kamu membunuh dirimu sendiri…”
3) Q. 7: 157, “… dan
(Nabi saw) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk (khb±’i£) … … …”
Beliau menafsirkan khab±’i£ sebagai segala sesuatu yang menimbulkan bahaya
(mudarat) kepada manusia baik pada fisiknya, jiwanya, maupun akalnya. Beliau
juga menguti sejumlah hadis di antaranya hadis yang melarang suatu yang
menimbulkan bahaya dan mudarat.[33]
Ysuf
al-Qara«±w³ (lahir 1926), salah seorang ulama kontemporer yang masyhur,
menyatakan dengan tegas keharaman merokok. Ia menguraikan secara panjang lebar
berbagai pendapat ulama baik yang mengharamkan, memakruhkan, dan memubahkan.
Kemudian ia menutup uraiannya dengan memperkuat pendapat yang menharamkan. Ia
mengatakan, “Perlu saya kemukakan bahwa para fukaha telah menegaskan bahwa
bahaya («arar) yang datang secara bertahap sama hukumnya dengan
bahaya («arar) yang datang seketika, keduanya adalah haram. Oleh
karena itu pengaruh racun rokok terhadap jantung dan paru cepat atau lambat,
tidak ragu lagi dihukumi haram.”[34]
Di samping banyak fatwa kontemporer yang
mengharamkan, ada juga yang membolehkan (tidak mengharamkan). Termasuk yang
tidak mengharamkan rokok adalah fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah yang dikeluarkan tahun 2007 dan dimuat dalam Suara Muhammadiyah.[35] Inti
fatwa tersebut adalah bahwa hukum merokok mubah, sekalipun demikian menjauhinya
adalah lebih baik daripada melakukannya.
Bila
diamati berbagai argumen fatwa yang membolehkan itu umumnya adalah karena belum
dapat membuktikan bahaya yang ditimbulkan oleh rokok, seperti Imam asy-Syauk±n³
yang telah dikutip di muka yang melihat tidak ada bahaya yang menjadi sebab
keharamannya. Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid juga cenderung demikian. Meskipun
ada kesan terdapat bahaya dalam rokok, namun perumus fatwa belum dapat
mencermatinya secara lebih mendalam dan tidak sempat mempelajari berbagai hasil
penelitian dampak tembakau terhadap kesehatan. Oleh karena itu dapat difahami
mengapa Majelis ini tidak mengharamkannya.
D. Hukum Merokok
Kini
argumen-argumen yang membolehkan merokok tampaknya tidak lagi dapat dipegangi
karena telah menjadi keyakinan luas dan dibuktikan oleh ahli-ahli medis bahwa merokok
berbahaya bagi kesehatan pelaku sendiri dan bagi orang lain di sekitarnya yang
terkena paparan asap rokok. Oleh karena itu Majelis Tarjih dan Tajdid harus
merivisi fatwanya dengan menggali lebih dalam illat hukum di sekitar rokok itu.
Argumen syar’i atas keharaman rokok dapat
dikemukakan meliputi argumen ijtihad bayani dan argumen ijtihad ta’lili.
Argumen bayani adalah sebagai berikut:
1. Larangan membunuh
diri sendiri dalam an-Nisa’ ayat 29, “Jangan kamu membunuh dirimu sendiri…”
merokok seperti dikutip dalam buku ¦ukm
ad-D³n f³ ‘²dat at-Tadkh³n di atas merupakan bunuh diri secara perlahan,
dan ini dapat dimasukkan ke dalam peringatan ayat ini. Juga dapat dimasukkan ke
dalam peringatan Q 2: 195, “Janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam
kebinasaan.” Badan
Kesehatan Dunia (WHO) dalam pernyataannya, Rabu (09/12/2009), menyatakan,
setiap tahunnya 5,4 juta orang meninggal akibat rokok. Angka ini akan terus
bertambah bila pemimpin negara belum punya kemauan melindungi rakyatnya dari
bahaya rokok. Dalam laporan terbaru mengenai penggunaan dan pengendalian
tembakau, PBB mengatakan, hampir 95 persen dari populasi global tidak
terlindungi oleh Undang-Undang Pelarangan Rokok. WHO juga menyebutkan, lebih
dari 600.000 perokok pasif meninggal tiap tahunnya.[36]
2. Larangan menimbulkan mudarat atau bahaya pada
diri sendiri dan pada orang lain dalam hadis riwayat Ibn M±jah, “Tidak ada
bahaya bagi diri sendiri dan terhadap orang lain” [l± «arara wa l±
«ir±r]. Rokok telah dibuktikan menjadi sumber sejumlah penyakit yang
membahayakan diri sendiri dan juga membahayakan orang lain yang terkena paparan
asap rokok. Menurut Menkes rokok/tembakau dapat menyebabkan berbagai penyakit
tidak menular seperti jantung dan gangguan pembuluh darah, stroke, kanker paru,
dan kanker mulut. Di samping itu, rokok juga menyebabkan penurunan kesuburan,
peningkatan insidens hamil di luar kandungan, pertumbuhan janin (fisik dan IQ)
yang melambat, kejang pada kehamilan, gangguan imunitas bayi dan peningkatan
kematian perinatal. Rokok mengandung lebih dari empat ribu bahan kimia,
termasuk 43 bahan penyebab kanker yang telah diketahui, sehingga lingkungan
yang terpapar dengan asap tembakau juga dapat menyebabkan bahaya kesehatan yang
serius.[37]
3. Apabila rokok merupakan hal yang menimbulkan
mudarat sebagaimana dikemukakan di atas, maka pembelanjaan uang untuk
kepentingan rokok adalah suatu kemubaziran yang dilarang di dalam agama Islam
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, “dan janganlah
menghambur-hamburkan hartamu secara boros, karena sesungguh para pemboros
adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar pada Tuhannya” [Q
17: 26-27].
Adapun argumen ta’lili (kausasi) adalah
bahwa konsumsi rokok bertentangan dengan beberapa butir tujuan syariah (maq±¡id
asy-syar³‘ah).
1. Perlindungan diri (¥if§ an-nafs).
Syariah bertujuan memberikan perlindungan terhadap diri manusia termasuk sisi
kesehatannya. Oleh akrena itu segala hal yang membahayakan dan menimbulkan dampak
buruk harus dijauhi karena bertentangan dengan tujuan syariah (maq±¡id
asy-syar³‘ah). Rokok jelas merupakan perbuatan yang merusak kesehatan
karena rokok selain bersifat adiktif, juga mengandung sejumlah zat berbahaya
dan merupakan penyebab berbagai penyakit. Oleh karena itu bertentangan dengan
tujuan syariah.
2. Perlindungan keluarga (¥if§ an-nasl). Rokok,
khususnya dalam keluarga, tidak mampu telah menyebabkan penggeseran pengeluaran
untuk makanan bergizi terutama bagi balita demi memenuhi kebutuhan rokok oarang
tua (ayah) dan paparan asap rokok akan mengenai seluruh anggota keluarga
bersangkutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematian bayi dan
balita di lingkungan kelurga perokok, seperti telah dikemukakan terdahulu,
lebih tinggi dari keluarga tidak merokok.
3. Perlindungan harta (¥if§ al-m±l). Karena
rokok adalah zat membahayakan, maka pengeluaran untuk rokok merupakan
pemborosan dan termasuk ke dalam larangan ayat yang melarang perbuatan mubazir.
Dari segi ekonomi, pertanian tembakau sekarang tidak lagi begitu menjajikan
bagi petani tembakau dan banyak dari mereka ingin beralih kepada pekerjaan atau
usaha lain yang lebih menyejahterakan. Upah buruh tani tembakau merupakan upah
terendah serta berada di bawah UMK.
Dalam konteks ini perlu diperhatikan
pertama, bahwa setiap orang dalam rangka lebih menepati ajaran agama
yang secara tegas melarang segala yang mudarat dan menghendaki perwujudan
maslahat agar melakukan upaya untuk mulai berupaya menghentikan kebiasaan
merokok. Untuk itu pusat-pusat kesehatan diharapkan dapat menyediakan fasilitas
atau klinik untuk terapi bagi mereka yang hendak berhenti merokok. iKedua,
pada sisi lain mengingat cukup tingginya minat para petani untuk beralih kepada
pertanian lain yang lebih menjanjikan daripada pertanian tembakau harus
dilakukan pembimbingan dan bantuan ketrampilan dan peluang usaha.
Akhir kata, dunia telah bergerak
kepada upaya pengendalian rorok dengan mengingat dampak yang ditimbulkannya.
Dalam Preamble dari dokumen Framework Convention on Tobacco Control
(FCTC) di antara pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan landasan penyusunan
dokumen itu antara lain adalah bahwa bukti-bukti ilmiah telah menunjukkan bahwa
konsumsi tembakau dan paparan asap rokok merupakan penyebab kematian, penyakit
dan kelumpuhan yang kesemuanya menuntut kerjasama internasional dan partisipasi
semua negara untuk menanggulangi dampakn tembakau.[38]
Apa yang diserukan Badan PBB tersebut tidaklah bertentangan bahkan sebaliknya sesuai
dengan pemahaman yang tepat terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu umat Islam
perlu meningkatkan kesadaran dalam kaitan ini dan menjadikan upaya
penanggulangan dampak tembakau ini sebagai bagian dari amar makruf nahi
mungkar.
· Makalah disampaikan pada Halaqah Fikih
Pengendalian Tembakau di PDM Kota
Yogyakarta, 21 Rabiul Awal 1431 H / 07 Maret
2010 M.
[1]
Sampoerna-Philip Morris bahkan telah mengakui hal ini dan menyatakan, “Kami
menyetujui konsensus kalangan medis dan ilmiah bahwa merokok menimbulkan kanker
paru-paru, penyakit jantung, sesak nafas, dan penyakit serius lain terhadap
perokok. Para perokok memiliki
kemungkinan lebih besar untuk terkena penyakit serius seperti kanker paru-paru
daripada bukan perokok. Tidak ada rokok yang “aman.” Inilah pesan yang disampaikan
lembaga kesehatan masyarakat di Indonesia
dan di seluruh dunia. Para perokok maupun
calon perokok harus mempertimbangkan pendapat tersebut dalam membuat keputusan
yang berhubungan dengan merokok,” http://www.sampoerna.com/default.
asp?Language=Bahasa&Page=smoking&searWords= (diakses 25-01-2010).
[2]
“Tobacco,” http://en.wikipedia.org/wiki/Tobacco,
akses 25-01-2010.
[3] Departemen Kesehatan, Fakta
Tembakau Indonesia:
Data Empiris untuk Strategi Nasional Penanggulangan Masalah Tembakau, 2004.
[4]
“History of Tobacco,” http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_tobacco.
[5]
Gregory Austin, “Chronology of Psychoactive
Substance Use,” http://www.tc.columbia.edu/
centers/cifas/drugsandsociety/background/chronologydruguse.html.
[6] Ibid.
[7] Al-¦alab³, ¦ukm ad-
D³n f³ al-Li¥yah wa at-Tadkh³n, http://www.ctsu.ox.ac.uk/~
btobacco/SMK_All_PAGES.pdf
[8] Sampoerna-Philip Morris
bahkan telah mengakui hal ini dan menyatakan, “Kami menyetujui konsensus
kalangan medis dan ilmiah bahwa merokok menimbulkan kanker paru-paru, penyakit
jantung, sesak nafas, dan penyakit serius lain terhadap perokok. Para perokok memiliki kemungkinan lebih besar untuk
terkena penyakit serius seperti kanker paru-paru daripada bukan perokok. Tidak
ada rokok yang “aman.” Inilah pesan yang disampaikan lembaga kesehatan
masyarakat di Indonesia
dan di seluruh dunia. Para perokok maupun
calon perokok harus mempertimbangkan pendapat tersebut dalam membuat keputusan
yang berhubungan dengan merokok,” http://www.sampoerna.com/default.
asp?Language=Bahasa&Page=smoking&searWords= (diakses 25-01-2010).
[9] Dikutip dari “Fakta
Tembakau di Indonesia,” TCST-IAKMI Fact Sheet, h. 1.
[10] Ibid.
[11] WHO Report on the
Global Tobacco Epidemic, 2008: The MPOWER Package (Geneva: World Health Organization, 2008), h.
7.
[12] Ibid.
[13] Richard D. Semba dkk.,
“Paternal Smooking and Increased Risk and Infant and Under-5 Child Mortality in
Indonesia,” American Iournal Of public Health, Oktober 2008, sebagaimana
dikutip dalam “Fakta Tembakau di Indonesia,” TCST-IAKMI Fact Sheet, h. 2.
[14] Ibid.
[15] “Konsumsi Rokok dan Balita
Kurang Gizi,” TCST-IAKMI Fact Sheet, h. 4.
[16] Deptan, Statistik
Pertanian, Jakarta,
2005, sebagaimana dikutip dalam “Fakta Tembakau di Indonesia,” TCST-IAKMI Fact
Sheet, h. 3.
[17] Ibid.
[18] “Petani Tembakau di
Indonesia,” TCST-IAKMI Fact Sheet, h. 1-3.
[19] Ibid., h. 3.
[20]Al-Makk³, Tah©³b
al-Furq wa al-Qaw±‘³d as-Sunniyyah f³ al-Asr±r al-Fiqhiyyah, dicetak
bersama al-Qar±f³, al-Furq wa Anw±r al-Burq f³ Anw±’ al-Furq (Beirut:
D±r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418/1919), I: 376.
[21] Al-Qas¯an¯³n³, Kasyf
a§-¨unn (Beirut: ¬ar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413/1992), I: 486;
al-Mu¥ibb³, Khul±¡at al-A£ar f³ A‘y±n al-Qarn al-¦±d³ ‘Asyar (Beirut: D±r ¢±dir, t.t.),
IV: 187.
[22] Ibn ‘’²bid³n, Radd
al-Mu¥t±r ‘al± ad-Durr al-Mukht±r Syar¥ Tanw³r al-Ab¡±r (Riyad: D±r ‘²lam
al-Kutub, 1423/2003), X: 42-43.
[23] Nama lengkapnya
Mu¥ammad ‘Al³ Ibn ¦usain al-Makk³, seorang ulama Mekah bermazhab Maliki asal
Maroko yang terkemuka di zamannya, lahir di kota mulia tersebut tahun 1387 H
(1870 M), menjabat berbagai jabatan penting seperti hakim Pengandilan Tinggi,
anggota Majlis Syura Khilafah dan beberapa lainnya, pernah bermukim dua kali di
Indonesia, pertama tahun 1343-4/1924-5
selama 18 bulan dan tahun 1345/1926
selama enam bulan. Meninggal tahun 1367/1948.
[25] Ar-Ra¥³b±n³, Ma¯±lib
®l³ an-Nuh± f³ Syar¥ G±yat al-Muntah± (Damaskus: al-maktab al-Isl±m³,
1961), VI: 218.
[26] Demikian diceritakan
oleh Mu¥ammad Rasy³d Ri«± dalam bukunya al-Khil±fah (Mesir: az-Zahr±’ li
al-I‘l±m al’Arab³, t.t.), h. 68.
[27] Dikutip oleh al-Mub±rakfr³,
Tu¥fat al-A¥wa©³ (Beirut:
D±r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), V: 324.
[28] Ibid.
[29] ¦ukm ad-D³n f³ ‘²dat at-Tadkh³n
(al-Maktabah asy-Sy±milah, edisi 2), h. 12.
[30]
Al-¦alab³, ¦ukm ad-D³n f³ al-Li¥yah wa at-Tadkh³n (Amman, Yordania: al-Maktabah al-Isl±miyyah,
1405 H), h.39-44.
[31] Bin B±z, Fat±w± Ibn
B±z (al-Maktabah asy-Sy±milah, edisi
2), VIII: 83.
[32] http://www.waraqat.net/539/
.
[33] “Fatwa Ra’³s al-Majlis
al-A‘l± li al-Ift±’ bi Suriyyah ¦aula at-Tadkh³n,” http://www.
medislam.com/content/view/1402, 05-03-2010.
[34] Ysuf al-Qara«±w³, Fatwa-Fatwa
Kontempore, alih bahasa (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), II: 830-831.
[35] Suara Muhammadiyah,
No. 08 h. Ke-92/ 15-30 April 2007, h. 39-40.
[36] “WHO: Rokok Membunuh 5
Juta Orang Tiap Tahun,” Kompas. Com, <http://kesehatan.
kompas.com/read/xml/2009/12/10/10222990/who.rokok.membunuh.5.juta.orang.tiap.tahun>,
akses 12-12-2009.
[37] “Rokok
Membunuh Lima Juta Orang,” http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=
viewarticle&sid=3646
[38] Lihat Preamble dari
“WHO Framework Convention on Tobacco Control,” <http://www. who.int/fctc/en/>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar